Inti kepemimpinan seperti yang pernah dikemukakan oleh Ordway Tead dan Stephen Robbins adalah kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain agar orang lain tersebut mau mengikuti apa yang diinginkannya (Pasolong, 2008). Tapi, bagi ayas (baca:saya), kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan di bumi ini sehingga apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Banyak orang di sini tidak hanya berarti untuk orang-orang yang hidup pada era si pemimpin itu masih hidup saja, tetapi juga untuk orang-orang yang hidup pada era si pemimpin tadi telah meninggal fisiknya. Oleh karena itu, sesungguhnya ide-ide besar yang dikemukakan oleh seorang manusia harusnya dituangkan ke dalam secarik kertas, sebuah batu, atau apapun itu yang bisa membuat generasi penerusnya dapat mempelajari ide-idenya. Jika tidak, generasi-generasi penerus tidak akan memiliki kesempatan untuk mengadopsi ide-ide besarnya. Contohnya saja bangsa kita sendiri yang sedari dulu kepeduliannya dengan budaya tulis masih kurang sehingga kita tidak memiliki rekam jejak yang relatif lengkap terhadap prestasi bangsa kita sendiri. Kita tidak tahu dengan tepat bagaimana cara Kerajaan Majapahit yang wilayahnya membentang dari semenanjung Malaka di sebelah Barat, Filipina di sebelah Utara, dan Papua di sebelah Timur menjalankan roda pemerintahannya sehingga mampu bertahan sampai dua ratus tahun lamanya. Hal ini sangat ironi apabila disandingkan dengan pepatah yang sering nyanggong di telinga kita, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya”. Tidak jelas juga apakah hal ini dikarenakan tidak adanya serat, kitab, ataupun buku yang menjadi semacam memorinya, atau memang kaum muda Indonesia yang malas memerhatikan sejarahnya. Padahal, agar kaum muda mampu menjadi pemimpin masa depan di Indonesia, mencintai budaya tulis adalah suatu keharusan. Lihat saja masa muda Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan tokoh bangsa lainnya yang sangat akrab dengan budaya tulis. Merujuk lebih jauh ke belakang, Nabi Muhammad SAW pada saat hendak menjadi Nabi, beliau pun dipaksa untuk mengenali budaya tulis. Sebab, orang-orang yang mampu menguasai informasi, mereka itulah calon pemimpin.
[ Read More ]