Seperti Kereta Maglev yang terus melaju dan menginpirasi

Banner 468

DEHUMANITAS SEBAGAI DAMPAK PEMBANGUNAN REZIM ORDE BARU (Review Buku Berjudul Gagalnya Pembangunan : Kajian Terhadap Akar Krisis Indonesia -- Penulis: Andrinof Chaniago)

Posted by Irendy on - -


Ketika berbicara tentang Orde Baru (Orba), kata “pembangunan” pasti akan senantiasa menyertainya. Hal itu tidak terlepas dari fokus pemerintah yang pada saat itu lebih menitikberatkan pada program-program pembangunan ekonomi untuk memodernisasikan masyarakat Indonesia. Pemilihan fokus ini bisa dimaklumi karena pada era Orde Lama (Orla) yang mana lebih memfokuskan pada pembangunan politik luar negeri ala Soekarno, jantung pembangunan ekonomi di dalam negeri pada saat itu serasa berhenti berdetak, apalagi pada saat menjelang runtuhnya Orla. Tingginya inflasi yang salah satu penyebabnya adalah destabilitas politik membuat harga barang-barang pokok naik cukup tajam, sehingga pada waktu itu banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membeli kebutuhan pokok mereka. Bahkan, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa Rp 1000,00 uang lama harus ditukarkan dengan uang baru senilai Rp 1,00. Bisa dibayangkan betapa kalutnya perekonomian Indonesia pada saat itu. Oleh karenanya, rezim Soeharto sangat berkepentingan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.  
Di dalam menentukan arah pembangunannya, orba menggunakan teori modernisasi yang diletakkan sebagai upaya menciptakan replikasi model pembangunan bergaya liberal yang banyak diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga lainnya. Namun, hingga hari ini, ternyata modernisasi tak kunjung mampu mengangkat martabat dunia ketiga sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Sebaliknya, eksploitasi transnasional yang muncul dalam wujud penanaman modal asing, menggeser dan menggantikan bentuk kolonialisme yang sejak lama dilakukan Barat terhadap dunia ketiga (http://agusharyadi4.blogspot.com). Lewat isu HAM dan demokrasi, Barat memperlakukan dunia ketiga tak lebih dari sekadar anak didik yang bisa terus ditekan hingga melampaui batas titik normal.
Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya kian terpuruk, bahkan Indonesia khususnya, hampir mencapai titik nadir kebangkrutan sebagai bangsa yang dimulai semenjak satu dekade terakhir Orde Baru hingga hari ini. Keputusan untuk mengikuti program IMF pada bulan Oktober 1997 justru membuat krisis ekonomi di Indonesia semakin parah. Akibat dari keputusan ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 minus 13 persen. Tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi di Indonesia memang akan tetap terjadi, namun skalanya relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara minus 2% sampai 0%) pada 1998. Namun, keterlibatan IMF membuat ekonomi Indonesia jatuh drastis (12,8% pada 1998). Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut ialah kerusuhan sosial Mei 1998, peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 triliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa hingga kini, di mana setiap tahun rata-rata 40% APBN (seperti yang diketahui bahwa jumlah ini lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan yang sebesar 20%) dihabiskan untuk pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.
Kemudian, seperti yang diketahui bahwa barometer keberhasilan pembangunan ditandai dengan adanya suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan adanya pembangunan yang berkesinambungan dengan bercirikan tidak terjadinya kerusakan sosial serta kerusakan alam. Namun nyatanya, pembangunan yang dilakukan di Indonesia selama tiga dekade sebelum reformasi, di beberapa segi memunculkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan disertai tidak adanya keadilan sosial, seringnya terjadi pelanggaran HAM, dan terjadinya kerusakan alam seperti hilangnya hutan adat serta hutan rakyat yang telah digantikan sistem pengelolaan hutan secara konglomerasi (http://elka.umm.ac.id).
Melalui buku Andrinof Chaniago ini, kalangan akademisi Indonesia dan masyarakat awam yang membaca buku ini, dapat mengetahui empat episode pembangunan ekonomi yang dilalui oleh pemerintah Orba beserta dampak positif dan negatifnya. Positif dalam arti bahwa Orba mampu memperbaiki perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk di era Orla dengan segala macam kebijakannya, dan Orba juga sukses menyulap beberapa kota di Indonesia menjadi megapolitan yang membuat decak kagum dunia. Sedangkan negatif dalam artian kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh orba kerap kali menguntungkan kaum elit daripada kawula alit yang kesemuanya dilakukan atas nama pembangunan.
 Episode pertama yang diawali pada tahun 1966, pemerintah melakukan tindakan-tindakan progresif dengan memfasilitasi dan memobilisasi potensi ekonomi yang paling mudah diproduksi untuk menggerakkan roda perekonomian yang berorientasi pasar. Misalnya saja penerbitan UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU Pokok Kehutanan oleh pemerintah untuk menstimulasi berbagai pihak masuk ke sektor strategis. Setahun kemudian, yaitu tahun 1968, pemerintah atas persetujuan DPR yang di dalamnya telah diisi orang-orang yang pro-Soeharto, menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tindakan pemerintah yang mendahulukan terbitnya UU PMA daripada UU PMDN mengindikasikan bahwa pemerintah lebih mementingkan masuknya investor asing daripada memobilisasi dana investor dalam negeri. Pemerintah Orba pada masa itu memiliki pemikiran bahwa untuk memulihkan perekonomian secara cepat, maka mereka membutuhkan peran asing untuk menanamkan modalnya dan membangun pabrik-pabrik baru untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia. Ketika itu, pemerintah tidak bisa banyak bergantung dengan pihak swasta dalam negeri karena pada umumnya bisnis mereka sedang collapse akibat krisis tahun 1965.  
Akan tetapi, lama kelamaan, bisnis para pengusaha dalam negeri mulai berkembang semenjak adanya UU PMDN yang diterbitkan pemerintah. Walaupun sebenarnya kesuksesan mereka juga didukung oleh kelihaian para businessman tersebut dalam membangun link dengan para elit penguasa. Para pengusaha yang sukses ini antara lain Bob Hasan (mendapatkan konsesi Hak Penguasaan Hutan) dan Liem Sioe Liong (hak monopoli pemasaran terigu di Indonesia bagian barat) yang merupakan teman lama Soeharto. Kedua faktor di atas, secara tidak langsung melahirkan ketidakadilan karena menghalangi beberapa pengusaha lain untuk berkembang meskipun sebenarnya usaha mereka telah berjalan sejak Orla. Salah satu hambatannya adalah UU PMDN mensyaratkan modal yang hendak ditanamkan harus berupa dana segar. Padahal sebagian dari mereka, kekayaannya yang tersimpan adalah dalam bentuk perusahaan yang sudah beroperasi.
Pada episode kedua, tepatnya tahun 1973, di level dunia terjadi lonjakan harga minyak dan beberapa komoditas seperti kopi, kayu, dan karet yang bedampak pada menaiknya penerimaan kas negara. Dengan adanya oilboom tersebut, BUMN seperti Pertamina mengalami peningkatan pemasukan secara drastis yang semakin membuatnya berambisi untuk melebarkan sayap ke sektor bisnis non-migas. Dana ekspansi bisnis ini tidak hanya berasal dari naiknya laba mereka yang diakibatkan oleh oilboom, tetapi juga berasal dari pinjaman-pinjaman bank komersial. Akibat dari ambisi yang begitu besar yang tidak disertai dengan manajemen keuangan yang baik, Pertamina terperosok ke dalam jurang utang yang jumlahnya mencapai 10,5 miliar dolar AS pada 1975. Dan tentu saja, pemerintahlah yang harus menangggung utangnya. Sedangkan pimpinan Pertamina pada saat itu, yakni Ibnu Sutowo, justru berhasil membangun imperium bisnis keluarga melalui proyek-proyek yang diperoleh dari Pertamina.
Di sisi lain, kinerja dari BUMN-BUMN di bidang lainnya juga tidak menunjukkan hasil yang bagus, kecuali PT Timah yang pada 1977 memperoleh laba cukup besar.  Salah satu faktor penyebab buruknya kinerja keuangan BUMN ini karena adanya tekanan eksternal terhadap manajemen untuk pembelian bahan-bahan baku yang tidak didasarkan pertimbangan harga yang rasional, tetapi seringkali karena pertimbangan patronage. Sedangkan peran pihak swasta di episode ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Mereka secara bertahap menjadi kuat secara ekonomi karena iklim bisnis yang sangat kondusif yang sekali lagi disebabkan oleh melonjaknya harga minyak dan beberapa komoditas lain di pasaran. Hal ini menyebabkan swasta dalam negeri memiliki modal yang cukup untuk mulai memengaruhi proses politik. Melalui persekongkolan antara kaum pengusaha dengan birokrat, pada masa ini banyak juga hutan di Kalimantan dan Sumatra yang terus dieksploitasi yang berakibat lebih dari 80% hasil hutan Indonesia diekspor ke mancanegara.
Episode kedua ini juga menyimpan catatan kelam bagi mahasiswa yang anti modal asing. Mahasiswa berpandangan bahwa dengan semakin banyaknya modal asing masuk ke Indonesia, Indonesia secara tidak langsung menjadi jajahan dari negara investor tersebut karena dalam membuat kebijakan pemerintah harus menuruti apa yang diinginkan oleh para negara investor. Bentuk perlawanan mahasiswa ini mencapai klimaksnya dengan terjadinya peristiwa “Malari” pada tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta. Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan, sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak, dan sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan pada peristiwa itu.
Pada saat jatuhnya harga minyak di awal 1980-an, saat itu pula Indonesia memasuki episode ketiga yang juga dikatakan sebagai episode restrukturisasi ekonomi. Jatuhnya harga minyak tentu mengakibatkan merosotnya penerimaan negara dan juga membuat industri dalam negeri menjadi collapse. Untuk menstabilkan perekonomian Indonesia kembali, pemerintah melakukan deregulasi di berbagai sektor, seperti sektor moneter, perdagangan luar negeri, dan industri. Langkah-langkah deregulasi tersebut membuat bergairah kembali penanaman modal di Indonesia dan memunculkan banyak bank baru di Indonesia.
Setelah dalam kurun tahun 1983-1988 Indonesia melakukan restrukturisasi ekonomi, maka memasuki episode keempat, Indonesia melakukan penyesuaian radikal yang cenderung mengubah makna pembangunan menjadi bisnis. Hal ini dimulai pada tahun 1988 saat pemerintah meluncurkan kebijakan Paket Oktober 1988 yang meliberalisasi sistem perbankan secara radikal. Program itu diikuti oleh dukungan nyata dari MPR lewat beberapa perumusan dalam GBHN 1988 dengan membuka peluang bagi pengusaha swasta yang bergerak di sektor pelayanan publik dan pembangunan perumahan. Pemerintah mengeksploitasi lokasi dan ruang-ruang strategis di kota-kota metropolitan serta menjadikan kepadatan penduduk di kota-kota sebagai captive market bagi beberapa produk barang dan jasa tanpa mempertimbangkan dampak-dampak sosial yang akan muncul. Trickle down effect yang diharapkan bisa terjadi di era pembangunan ini ternyata implementasinya sangat lambat.
Sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, kebijakan yang dibuat pemerintahan Orde Baru secara oposisional berhadapan dengan dimensi lain dari kepentingan masyarakat. Pemerintah secara sistematis menjustifikasi kejahatan kemanusiaan atas nama pembangunan, dan menggusur rakyat dari rumahnya sendiri melalui stigmatisasi penghambat pembangunan. Pembangunan yang dikampanyekan pemerintah tak seharusnya dimanifestasikan sebagai reduksionisme atas humanitas yang selayaknya dihormati. Pembangunan yang berorientasi kemanusiaan adalah pembangunan yang menempatkan kesejahteraan dan kebebasan mengaktualisasikan diri sebagai variabel utama pembangunan. Dengan menghindari keterjebakan dari semangat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengejar setinggi-tingginya penanaman modal asing. Namun, bermuara pada tergadaikannya core kebangsaan melalui aliansi segitiga antara kelompok-kelompok feodal, birokrasi, dan kapitalisme internasional.

REFERENSI
Chaniago, Andrinof. 2001. Gagalnya Pembangunan : Kajian Terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
Haryadi, Agus. 2001. Kemanusiaan, Teori Modernisasi, dan Dependensi. http://agusharyadi4.blogspot.com diakses tanggal 10 September 2009.
Wurianto, Arif. 2007.  Konstruksi Ketidakseimbangan Pembangunan dalam Telaah Harmonisasi Suprastruktur dan Infrastruktur Kebudayaan. http://elka.umm.ac.id/artikel1.htm diakses tanggal 10 September 2009.

Categories: