Seperti Kereta Maglev yang terus melaju dan menginpirasi

Banner 468

Grand Strategy Menciptakan Pemimpin dari Kampus

Posted by Irendy on - -


Inti kepemimpinan seperti yang pernah dikemukakan oleh Ordway Tead dan Stephen Robbins adalah kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain agar orang lain tersebut mau mengikuti apa yang diinginkannya (Pasolong, 2008). Tapi, bagi ayas (baca:saya), kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan di bumi ini sehingga apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Banyak orang di sini tidak hanya berarti untuk orang-orang yang hidup pada era si pemimpin itu masih hidup saja, tetapi juga untuk orang-orang yang hidup pada era si pemimpin tadi telah meninggal fisiknya. Oleh karena itu, sesungguhnya ide-ide besar yang dikemukakan oleh seorang manusia harusnya dituangkan ke dalam secarik kertas, sebuah batu, atau apapun itu yang bisa membuat generasi penerusnya dapat mempelajari ide-idenya. Jika tidak, generasi-generasi penerus tidak akan memiliki kesempatan untuk mengadopsi ide-ide besarnya. Contohnya saja bangsa kita sendiri yang sedari dulu kepeduliannya dengan budaya tulis masih kurang sehingga kita tidak memiliki rekam jejak yang relatif lengkap terhadap prestasi bangsa kita sendiri. Kita tidak tahu dengan tepat bagaimana cara Kerajaan Majapahit yang wilayahnya membentang dari semenanjung Malaka di sebelah Barat, Filipina di sebelah Utara, dan Papua di sebelah Timur menjalankan roda pemerintahannya sehingga mampu bertahan sampai dua ratus tahun lamanya. Hal ini sangat ironi apabila disandingkan dengan pepatah yang sering nyanggong di telinga kita, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya”. Tidak jelas juga apakah hal ini dikarenakan tidak adanya serat, kitab, ataupun buku yang menjadi semacam memorinya, atau memang kaum muda Indonesia yang malas memerhatikan sejarahnya. Padahal, agar kaum muda mampu menjadi pemimpin masa depan di Indonesia, mencintai budaya tulis adalah suatu keharusan. Lihat saja masa muda Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan tokoh bangsa lainnya yang sangat akrab dengan budaya tulis. Merujuk lebih jauh ke belakang, Nabi Muhammad SAW pada saat hendak menjadi Nabi, beliau pun dipaksa untuk mengenali budaya tulis. Sebab, orang-orang yang mampu menguasai informasi, mereka itulah calon pemimpin.
Ada quote yang sangat bagus yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan Presiden Soekarno. Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Tinta bagi pelajar lebih suci nilainya daripada darah seorang martir”. Sedangkan Presiden Soekarno sebagai salah satu founding fathers negara kita pernah berkata, “Berikan saya sepuluh pemuda yang memiliki semangat berkobar-kobar dan cita-cita yang tinggi maka saya dapat menaklukkan dunia”. Dua quote yang telah disampaikan di atas sangat penting artinya bagi revitalisasi perjuangan mahasiswa yang saat ini justru sering diaktualisasikan melalui tindakan anarkis daripada tindakan konstruktif. Tindakan konstruktif ini seperti menulis ide-ide kreatif di media massa ataupun berpartisipasi dalam lomba-lomba esai dan karya tulis ilmiah.. Bayangkan saja pada saat perayaan HUT Indonesia yang ke-64 kemarin, masih dapat kita temukan berita tentang tawuran antarmahasiswa di televisi. Betapa sedih hati ini melihat kenyataan tersebut.
Namun, meskipun demikian, banyak masyarakat yang masih berharap kepada mahasiswa untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik bagi negeri ini, karena sampai sejauh ini mahasiswa tetap saja identik dengan sosok pelajar sekaligus pemuda yang tinggi akhlak dan intelektualitasnya, serta selalu siap sedia untuk menjadi agent of change dan agent of leadership. Pertanyaannya sekarang, apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk mampu memenuhi harapan tersebut? Apa pula yang harus dilakukan oleh orang-orang di sekitar mahasiswa agar mahasiswa mampu menjadi pemimpin bangsa di masa depan? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui ciri-ciri seorang pemimpin berdasarkan cara pandang sebagian rakyat Indonesia. 
Mencari Sosok Pemimpin
            Sekarang ini, sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang pemimpin mereka haruslah terdidik, terampil, terlatih, cakap, mampu berpikir cepat, dan lain sebagainya. Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Demokrasi La Raiba Fih mengatakan bahwa ada sebagian masyarakat yang mencari pemimpinnya melalui simbolisme dari dunia pewayangan seperti mengasosiasikan calon pemimpin dengan tokoh-tokoh macam Arjuna, Bima, Gareng, Limbuk, dan Kumbokarno. Arjuna dengan karakter sakti pendiamnya. Bima dengan sikap jujur, gagah, dan perkasanya. Gareng yang seorang filosof guru bangsa. Limbuk seorang pengabdi yang setia namun kritis. Terakhir, dengan Kumbokarno si raksasa besar pembela tanah air.
Bahkan, untuk mencari seorang pemimpin, ada yang harus dihitung berdasarkan parameter kualitas Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu. Satrio yang artinya ia harus cakap, pejuang, menguasai multiproblem, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Pinandhito, tidak terpesona oleh harta, tahta, wanita, dan memiliki sikap arif yang tinggi dalam hidupnya. Dan terakhir Sinisihan Wahyu, di mana Ia harus tampak sebagai pilihan Tuhan melalui perjalanan hidupnya.
Cara mencari dan mengidentifikasi calon pemimpin seperti di atas mungkin bagi sebagian orang memang diperlukan, tapi bagi ayas sebenarnya ada rumus yang paling sederhana untuk mencari seorang pemimpin. Sama halnya dengan seorang perempuan yang ingin mencari seorang suami. Syarat yang harus terpenuhi pertama kali adalah suami tersebut haruslah manusia, setelah itu laki-laki, dan setelah itu syarat-syarat berikutnya. Entah perempuan itu ingin laki-laki yang tinggi, pendek, gendut, kurus, punya mobil, punya pesawat, punya rumah, dan seterusnya, itu urusan belakangan. Hal terpenting  ialah calon suami itu harus manusia terlebih dahulu.  
Mengapa harus dianalogikan seperti di atas? Hal ini dikarenakan saat ini banyak manusia yang tidak menunjukkan sisi kemanusiaanya. Banyak manusia yang sudi untuk membunuh saudara atau bahkan orang tuanya demi sejumlah harta warisan. Banyak manusia yang tega membuang atau bahkan membunuh darah dagingnya sendiri demi sebuah kehormatan. Hingga yang paling mutakhir, banyak manusia yang mengatasnamakan agama untuk melakukan pencurian, pemerasan, dan pembunuhan. Oleh karena itu, hendaknya bagi mahasiswa yang mengaku sebagai calon pemimpin bangsa, mulailah dari sekarang untuk menjadi seorang manusia yang benar-benar manusia. Manusia yang sungguh-sungguh memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, MANUSIA itu pada dasarnya adalah Makhluk Agung Nan Unggul Selama Ia Amanah.
            Lalu, berbicara tentang sosok pemimpin, pasti tidak terlepas dari pertanyaan apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan. Makna kata “dilahirkan” lebih berorientasi pada ditakdirkan oleh Tuhan dengan melihat sifat-sifat yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir, sedangkan “diciptakan” lebih berorientasi pada seorang pemimpin yang jiwa kepemimpinannya terbentuk oleh lingkungan di mana ia tinggal atau dibentuk oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Walaupun sebenarnya kita juga tahu bahwa Tuhan turut andil dalam meletakkan seseorang tersebut dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lainnya. Namun, kita sebagai manusia yang notabene adalah wakil Tuhan di muka bumi ini, tidak usahlah menunggu pemimpin untuk dilahirkan, karena sejatinya Tuhan telah “melahirkan” semua anak Adam sebagai calon pemimpin di bumi ini, tinggal kita sendiri yang harus berusaha meng-upgrade kualitas kepemimpinan kita.
Seorang pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang berkarakter dan berguna bagi negaranya. Orang yang berkarakter adalah orang yang tingkah lakunya senantiasa digerakkan oleh nilai-nilai kemanusiaan seperti kerendahan hati, integritas, sopan santun, kesederhanaan, kesabaran, keberanian untuk membela yang benar, dan sebagainya.
Menciptakan Sang Pemimpin
            Menciptakan atau membentuk seorang pemimpin sejatinya adalah tugas kita semua. Tugas ayas dan teman-teman ayas sebagai seorang mahasiswa untuk selalu meng-upgrade jiwa kepemimpinan yang dimiliki, menyiapkan adik-adik kita untuk ready menjadi seorang pemimpin, dan mengingatkan generasi-generasi tua untuk tidak berlaku kekanak-kanakan (atau mungkin hal ini yang sering kita lakukan?). Tugas bagi para guru, dosen, profesor, ustadz, kiai, dan negarawan juga untuk membimbing para pengikutnya menjadi seorang pemimpin yang religius-nasionalis. Dan tentu tugas para orang tua juga untuk membimbing anak-anaknya menjadi calon pemimpin yang beradab.
Di dalam kehidupan kampus, tentu kita mengenal banyak organisasi yang fokus dalam bidang minat dan bakat, seperti bidang bahasa asing, musik, penelitian, dan olahraga. Ada juga organisasi yang berbentuk seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Majelis Permusyaratan Mahasiswa (MPM) yang kesemuanya mampu menjadi wadah aktualisasi dan kawah candradimukanya mahasiswa dalam mengembangkan softskills terutama dalam bekerja sama,  mengambil keputusan, membangun networking, dan kepemimpinan. Selain softskills, di dalam organisasi kita juga dapat mengembangkan ICT skills dan language skills kita. ICT skills membuat kita dapat mengetahui bagaimana cara mengoperasikan power point, membuat website, mengedit sebuah film, mendesain pamflet, dan sebagainya. Sedangkan language skills yang bisa kita dapatkan dalam sebuah organisasi kemahasiswaan yang fokus terhadap bahasa asing, membuat kita dapat belajar bahasa-bahasa Negara lain seperti bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa mandarin, bahasa Jerman, dan sebagainya.
 Di era globalisasi yang penuh persaingan ini, apabila seorang mahasiswa ingin menjadi seorang pemimpin yang berdaya saing dan berguna bagi Negara, wajib bagi mereka untuk mengembangkan Soft skills, ICT skills, dan Language skills-nya selain juga tetap mengembangkan hard skills-nya. Hardskills yang dimaksud adalah kemampuan mahasiswa untuk menguasai bidang ilmu yang ditekuninya selama di perkuliahan. Keempat skills ini tentu juga harus disinergikan dengan nilai-nilai agama yang diyakini oleh setiap mahasiswa karena pengembangan diri yang hanya menekankan pada aspek kompetensi saja akan menimbulkan krisis moral yang luar biasa. Avin F. Helmi dalam bukunya yang berjudul Model Mahasiswa yang Berdaya Saing menyatakan apabila mahasiswa sudah mampu menyinergikan keempat skills di atas dengan nilai-nilai agama yang mereka yakini, maka mereka telah menemukan esensi dari proses belajar, yaitu belajar tentang ilmu pengetahuan dan belajar tentang ilmu kehidupan (life skills).
Oleh karena itu, bagi para mahasiswa yang saat ini belum berkecimpung dalam suatu organisasi kemahasiswaan, segeralah mendaftarkan diri di organisasi yang sesuai dengan minat dan bakat kalian sehingga bisa memaksimalkan potensi yang kalian miliki. Sedangkan bagi kalian yang sudah aktif berkecimpung dalam organisasi kemahasiswaan, maksimalkanlah potensi dan sarana-prasarana yang ada di sekitar kalian demi membentuk diri menjadi seorang pemimpin masa depan yang berkualitas, serta ada kalanya membuat kegiatan yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas, seperti bakti sosial dan seminar. Khusus bagi para mahasiswa yang berkecimpung di dalam BEM, mereka harus banyak membuat kegiatan yang dapat bermanfaat bagi semua golongan mahasiswa, baik bagi mahasiswa yang aktivis ataupun bagi mahasiswa yang bukan aktivis, bagi mahasiswa yang mampu ataupun kurang mampu. Contohnya saja dengan membuat kursus bahasa asing, kursus multimedia, kursus wirausaha yang berbasiskan potensi kawasan, dan latihan kemampuan manajerial mahasiswa yang diadakan secara periodik dengan bantuan dana dari fakultas ataupun universitas.   
Apa yang diutarakan di atas adalah strategi menciptakan pemimpin yang berkualitas dengan mengandalkan organisasi kemahasiswaan, tetapi mengingat banyak mahasiswa yang saat ini masih belum aktif dalam organisasi kemahasiswaan, maka dibutuhkan strategi yang mengandalkan campur tangan pihak fakultas atau universitas secara lebih aktif. Di dalam mengembangkan softskills mahasiswa, fakultas atau universitas dapat membuat beberapa program, antara lain: 1) membuat pelatihan kepribadian bagi seluruh mahasiswa; 2) memberdayakan para mahasiswa melalui program mentoring keagamaan dan mentoring akademik di mana yang menjadi mentornya adalah para mahasiswa sendiri dan yang dimentori adalah para mahasiswa yang membutuhkan informasi-informasi tentang hal-hal agama dan akademik; 3) melibatkan mahasiswa ke dalam proyek-proyek penelitian dosen melalui program Kelompok Penelitian Bersama (KPB). 4) membuka kesempatan bagi mahasiswa yang ingin menjadi asisten dosen melalui proses seleksi terlebih dahulu.
Kemudian, di dalam mengembangkan ICT skills, fakultas atau universitas dapat membuat program semacam praktikum Sistem Informasi Manajemen dan kursus penguasaan Microsoft office secara gratis bagi seluruh mahasiswanya. Di beberapa fakultas, seperti Fakultas Teknik, mungkin pengembangan ICT skills ini sudah masuk ke dalam kurikulum. Namun, bagi fakultas-fakultas lainnya, program-program di atas bisa menjadi sebuah inspirasi.
Setelah itu, dalam mengembangkan Language skills, fakultas atau universitas dapat membuat kursus-kursus bahasa asing yang diadakan secara periodik bagi seluruh mahasiswa. Kursus ini hendaknya tidak hanya mengajarkan satu bahasa asing saja (Inggris), tetapi juga beberapa bahasa asing yang saat ini menjadi bahasa pekerja internasional seperti bahasa mandarin, bahasa Jepang, bahasa Jerman, dan sebagainya.
Jadi, seperti yang telah disebutkan di atas, membentuk seorang mahasiswa menjadi pemimpin yang berkualitas adalah tugas semua elemen yang ada di kampus, baik mahasiswa itu sendiri, jajaran dekanat dan rektorat, serta tugas dari keluarga si mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa harus secara aktif mengaktualisasikan dirinya kepada hal-hal positif yang bisa didapatkannya dari organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus. Begitu juga jajaran dekanat dan rektorat yang harus mampu membuat sistem yang dapat memaksimalkan potensi dari mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa harus merubah orientasi perjuangannya dari yang sebelumnya lebih mengandalkan aksi di jalanan seperti Long March, demonstrasi, hingga aksi anarkis, menjadi lebih berorientasi kepada hal-hal yang berbau gerakan kreatif seperti berwirausaha dan membuat penulisan-penulisan ilmiah. Dengan demikian, mahasiswa akan lebih care terhadap budaya tulis yang memang harus mereka kuasai apabila ingin menjadi sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia bersaing dalam bidang apapun di era globalisasi ini. Sekaligus, dengan gerakan kreatif ini gagasan-gagasan yang mereka tuliskan nantinya dapat menjadi referensi ilmu pengetahuan bagi para generasi penerus mereka. Semoga sekelumit tulisan ayas tentang cara-cara menjadi pemimpin bangsa yang berdaya saing ini mampu menginspirasi kalian semua. Hidup Mahasiswa! Bangkitlah Indonesia!

Categories: