Seperti Kereta Maglev yang terus melaju dan menginpirasi

Banner 468

Kepemimpinan Efektif di Inggris

Posted by Irendy on - -


1.1   LATAR BELAKANG
Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat. Jumlah ini tentunya semakin bertambah dengan semakin berkembangnya zaman yang menghendaki adanya jaminan kebebasan bagi setiap warga negara. Banyak negara yang  menggunakan sistem politik demokrasi ini karena negara-negara tersebut menilai bahwa demokrasi apabila dijalankan dengan baik akan menghindarkan suatu negara dari adanya kediktatoran, menimbulkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, adanya jaminan kebebasan, memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, adanya tanggung jawab moral, adanya persamaan politik, mencari perdamaian, dan mewujudkan kemakmuran masyarakat. Pada umumnya, negara yang menggunakan demokrasi ini adalah negara-negara berkembang dan maju yang apabila dilihat dari segi modal sosial dan pertumbuhan ekonominya memang sudah mampu untuk menjalankan sistem politik demokrasi.   Walaupun demikian, ternyata masih ada juga beberapa negara yang tidak menggunakannya seperti Bolivia, Kuba, dan Venezuela yang menganut sistem politik sosialis yang cenderung otoriter. Di samping itu, ada juga suatu negara yang mencoba memadukan paham sosialis dan demokratis yang sering disebut dengan sosial-demokrasi seperti yang diterapkan oleh Argentina.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarki yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen.

Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Ilahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum Monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Mereka menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu.
Pendapat demikian semakin dikuatkan oleh pemikiran John Locke yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government”. Buku ini menyatakan bahwa semua pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang diperintah". Dengan pernyataannya tentang hukum alam itu, Locke membantah pengakuan bahwa pemerintah yang pada zamannya ada di bawah kekuasaan gereja, adalah suatu aspek rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hak-hak dasar semua orang. Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan "kontrak sosial" dengan pemerintah.
Kontrak sosial ini bisa berupa suatu perundang-undangan dasar di suatu negara yang menjamin hak-hak dasar warga negara dan mengatur bagaimana sistem pemerintahan itu bekerja. 
Namun, meskipun sudah terdapat undang-undang dasar yang mengatur sistem tatanan sosial, politik, dan ekonomi di suatu negara, hal ini belum tentu menjamin demokrasi akan berjalan dengan baik. Faktor manusia yang membuat dan menjalankan undang-undang dasar ini juga harus diperhatikan. Seperti yang telah disinggung di atas, di dalam demokrasi semua orang bebas mengemukakan pendapatnya, sehingga tentunya di dalam negara demokrasi pasti akan banyak sekali perbedaan pendapat dan kepentingan yang menuntut untuk didengarkan dan diakomodasikan. Banyaknya perbedaan ini apabila tidak diakomodasikan dengan baik, akan mengancam kelestarian dari demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kepemimpinan yang efektif di dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi ini. Suatu kepemimpinan yang mampu memberikan kebebasan bagi warganya seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama, namun di satu sisi mampu mengontrol kebebasan tersebut agar tidak melanggar hak asasi orang lain dan mengancam stabilitas serta keeksistensian suatu negara.
Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah semua orang berhak menjadi kepala negara dan ataupun kepala pemerintahan yang masa kepemimpinannya ditentukan oleh undang-undang untuk menghindari timbulnya kediktatoran. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan negara-negara yang sistem pemerintahannya berbentuk monarki dengan model pergantian pemimpin yang berdasarkan garis keturunan, namun mereka menganut paham demokrasi dalam tatanan kehidupan sosial-politiknya. Pada umumnya, negara-negara seperti ini menggunakan sistem pemerintahan yang disebut dengan parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang memisahkan kedudukan kepala negara dengan kepala pemerintahan. Kepala negara memiliki kekuasaan seremonial, simbolis, dan bersifat mewakili negara yang dapat dipegang oleh seorang raja, ratu, kaisar, atau sultan. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh seorang perdana menteri yang dipilih berdasarkan pemilihan umum dan memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan. Contoh dari negara semacam ini adalah Inggris. Inggris sebagai sebuah negara kerajaan, ternyata juga terkenal dengan sebutan the mother of parliament karena memang negara ini yang pertama kali memperkenalkan dan menerapkan bentuk parlementer ini. Dengan demikian, tentunya bisa dikatakan bahwa Inggris sudah menerapkan demokrasi semenjak ia menggunakan sistem parlementer ini, dan oleh sebab itu, kepemimpinan yang efektif juga sangat dibutuhkan di negara Inggris ini. Apalagi, mengingat Inggris tidak memiliki konstitusi yang terkodifikasi dalam satu naskah tertulis, tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum dan konvensi. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kepemimpinan yang efektif diterapkan di negara dengan model seperti itu, maka di dalam paper ini akan dipaparkan gaya kepemimpinan kepala negara dan pemerintahan di Inggris beserta penjelasan yang lebih detail tentang sistem pemerintahannya.

1.2   KARAKTERISITIK PEMERINTAHAN DAN KEPEMIMPINAN DI INGGRIS
Inggris merupakan negara demokrasi yang berbentuk kerajaan yang berparlemen. Inggrislah yang pertama kali menciptakan suatu parlemen workable. Artinya, suatu parlemen yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang mampu bekerja memecahkan masalah sosial ekonomi kemasyarakatan. Inggris juga merupakan negara kesatuan (unitary state) dengan sebutan United Kingdom yang terdiri atas England, Scotland, Wales dan Irlandia Utara. Kekuasaan kepala negara atau kewenangan memimpin negara terletak di tangan Raja atau Ratu Inggris yang nantinya apabila raja/ratu Inggris ini meninggal, maka akan dilanjutkan oleh keturunannya. Selain memiliki kekuasaan seremonial, Raja/Ratu Inggris sebagai kepala negara juga memiliki kekuasaan membubarkan parlemen atas usulan perdana menteri. Kepala negara secara formal dapat menginstruksikan diadakannya pemilihan umum baru atas saran perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan kepala pemerintahan atau kewenangan memimpin pemerintahan berada di tangan perdana menteri. Inggris memisahkan dua kekuasaan karena dilatarbelakangi oleh sejarah Kerajaan Inggris yang sebelum adanya pemisahan tersebut, Raja/Ratu sering bertindak sewenang-wenang. Raja/Ratu Inggris sebagai kepala negara merupakan simbol persatuan Kerajaan Inggris. Ia tidak memiliki kekuasaan pemerintahan sehingga juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Di dalam sistem pemerintahan Inggris berlaku ungkapan “the King do not wrong” yang berarti raja/ratu tidak dapat disalahkan karena ia tidak memiliki kekuasaan eksekutif. Dalam hal ini, gaya kepemimpinan yang ditunjukkan oleh raja/ratu Inggris biasanya adalah gaya kepemimpinan karismatik di mana nuansa karismatik ini diperoleh dari beberapa hal, seperti gelar kebangsawanannya, kekayaannya, keterpelajarannya, pengawalan ketat yang diperolehnya, dan banyaknya hubungan kekerabatan dan pertemanan yang diwarisi dari kedua orang tuanya (Wijianto, 2006).
Perdana menteri berasal dari anggota partai yang menang pemilu atau menguasai mayoritas anggota di parlemen. Pada umumnya, perdana menteri adalah pemimpin dari partai politik di Inggris. Setelah terpilih, selanjutnya perdana menteri membentuk kabinet yang pada umumnya berasal dari House of Commons. Kabinet bertanggung jawab terhadap parlemen, dan parlemen memiliki kekuasaan untuk membubarkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Jadi, masa jabatan kabinet sangat tergantung dari kepercayaan House of Commons. Oleh karena itu, orang yang sedang menjadi atau orang-orang yang ingin menjadi perdana menteri Inggris, dituntut untuk bertipe kepemimpinan demokratis. Tentunya orang yang satu dan orang yang lain memiliki cara-caranya sendiri untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang demokratis. Pemimpin yang demokratis dibutuhkan karena pemimpin yang demikian selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi serta kepentingan dari para bawahannya. Hal ini sangat penting mengingat perdana menteri umumnya juga seorang pemimpin partai politik mayoritas di parlemen yang selalu memiliki beberapa kepentingan politik, tapi di satu sisi ia juga sebagai perdana meneteri yang harus berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Selama abad ini, pemerintahan selalu dibentuk oleh salah satu dari ketiga partai politik utama yaitu partai buruh, konservatif dan liberal-demokrat. Pemerintahan koalisi jarang terjadi dalam sejarah politik Inggris. Ada juga dua partai nasional, satu di Wales (Plaid Cymru) dan satu di Scotland (The Scotish National Party), seperti juga beberapa partai nasional di Irlandia Utara.
Parlemen di Inggris terdiri dari dua bagian (bi kameral) yaitu House of Common dan House of Lord. House of Lord (Majelis Tinggi) terdiri dari Lord Spiritual dan Lord Temporal yang penentuan keanggotannya didasarkan atas penunjukkan ratu, setelah ratu mendengarkan nasihat dari perdana menteri. Lord Spiritual terdiri para pemimpin gereja, sedangkan Lord Temporal adalah keturunan bangsawan kerajaan dari perserikatan kerajaan (United Kingdom). Sedangkan House of Common (Majelis Rendah) adalah badan perwakilan yang anggotanya berasal dari partai politik di Inggris yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
House of Common beranggotakan 650 orang yang tetap dan digaji.
Setiap anggota ini mewakili suatu lingkungan atau daerah (constituency). Anggota parlemen ini harus memenangkan pemilihan di daerahnya paling sedikit sekali dalam lima tahun suatu pemilihan umum. Ketua partai politik yang memenangkan mayoritas dalam pemilihan umum tersebut diminta oleh
Ratu untuk membentuk kabinet. Di dalam jangka waktu lima tahun, atau sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa, ataupun pemerintah telah kehilangan mayoritasnya dalam House of Common, harus melakukan pemilihan umum kembali. Partai yang kalah dalam pemilu secara resmi menjadi partai oposisi dan mempunyai pemimpin sendiri serta suatu “kabinet bayangan”.
Badan peradilan di Inggris ditunjuk oleh kabinet sehingga tidak ada hakim yang dipilih. Meskipun demikian, mereka menjalankan peradilan yang bebas dan tidak memihak, termasuk memutuskan sengketa antara warga dengan pemerintah.
Inggris sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi. Kekuasaan pemerintah daerah berada pada Council (dewan) yang dipilih oleh rakyat di daerah. Sekarang ini, Inggris terbagi dalam tiga daerah, yaitu England, Wales dan Greater London.


2.1  TEORI KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF
Prinsip Dasar Kepemimpinan Efektif
Sebuah studi yang mengamati lebih dari 75 komponen yang menunjang kepuasaan pekerja menunjukkan bahwa ada dua hal yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan yang efektif.
·         Rasa saling percaya. Rasa Percaya pada pemimpin merupakan indikator bahwa pengikut merasa puas dengan kepemimpinan pada organisasi tersebut. Dalam konteks yang lebih umum, rasa saling percaya harus ada antara pemimpin dan yang dipimpin. Bila pengikut tidak mempercayai pemimpin, mereka tidak akan spenuhnya mengikuti kebijaksanaan yang telah diambil. Sebaliknya bila pemimpin tidak mempercayai pengikutnya pengikutnya, ia akan cenderung membuat keputusan-keputusan yang tidak rasional.
  • Komunikasi. Komunikasi adalah kemampuan mutlak yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin yang baik. Ia perlu berkomunikasi dengan pengikutnya untuk membantu mereka memahami visi yang ingin dicapai, berbagi informasi mengenai pencapaian dan bagimana mereka dapat berkontribusi untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Model Pengambilan Keputusan
Dalam kepemimpinan, salah satu bagian yang penting adalah mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Terdapat tiga model pengambilan keputusan, yaitu:
·         Direktif. Pengambilan keputusan dilakukan pimpinan berdasarkan sangat sedikit (bahkan tidak sama sekali) ,masukan dari orang lain. Kelebihan dari model ini, proses pengambilan keputusan dapat dilakukan relatif cepat. Model ini sesuai bila pemimpin adalah orang yang benar-benar telah berpengalaman dan pernah mengahdapi situasi serupa. Di sisi lain, patut dipertimbangkan bahwa kondisi nyata berubah sangat cepat. Solusi yang persis sama belum tentu sesuai untuk keadaaan yang berbeda.
  • Partisipatif. Semua pengikut memberikan masukan dalam diskusi dan proses pembuatan keputusan. Model ini mengakomodasi sumbangan pikiran dari semua yang terlibat dalam pekerjaan besar tertentu. Akan tetapi, untuk menggunakan cara ini dibutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat karena ada kemungkinan berbagai pihak akan bersilang pendapat sehingga proses pengambilan keputusan berlarut-larut dan tidak efektif.
  • Konsultatif. Merupakan kombinasi dari dua model dua model sebelumnya di mana pemimpin hanya meminta masukan mengenai hal-hal yang diduskusikan. Keputusan yang bersifat strategis (berpengaruh sangat besar dan menyangkut pencapaian visi) dilakukan oleh pemimpin. Model ini sesuai bila ingin mengefektifkan  waktu pengambilan keputusan.
Karakteristik Pemimpin Efektif
Tidak semua pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi. Sebagai pemimpin malah membawa kemunduran untuk organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin struktural dan pemimpinan relasional yang efektif memiliki sejumlah karakteristik. Berikut ini adalah sejumlah karakteristik yang perlu dimiliki orang yang ingin jadi pemimpin efektif.
·            Memiliki Visi Ke depan. Kepemimpinan yang efektif dimulai dari visi yang jelas. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seseorang pemimpin adalah seorang inspirator perubahan dan visioner, yaitu memilki visi yang jelas ke mana organisasinya akan menuju. Tanpa visi, kepemimpinan tidak akan ada artinya sama sekali. Selain memiliki visi, seorang pemimpin juga harus memilki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tersebut ke dalam suatu rangkaian tindakan  atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi itu.
·         Cakap Secara Teknis. Seorang pemimpin tidak harus menguasai tugas pengikutnya secara rinci. Akan tetapi, pemimpin yang baik harus memiliki kecakapan teknis yang berkaitan untuk mencapai tujuan. Misalnya, untuk membangun sebuah gedung tinggi, tentunya dibutuhkan pemimpin proyek yang memilki kecakapan dan pengalaman teknis di bidang tersebut. Tidak mungkin proyek tersebut dipimpin lulusan Sarjana Politik yang belum pernah terlibat sama sekali dalam proyek konstruksi bangunan.
  • Membuat Keputusan Tepat. Seorang pemimpin harus dapat menyelesaikan masalah dengan membuat keputusan yang tepat. Untuk memutuskan sesuatu, dibutuhkan informasi yang akurat serta perencanaan yang jelas mengenai aktivitas organisasi.
  • Berkomunikasi dengan Baik. Pemimpin harus memastikan setiap deskripsi tugas dimengerti, dilaksanakan, dan diawasi. Setiap perkembangan yang penting perlu dikomunikasikan dengan elemen oragnisasi agar timbul rasa memiliki. Selain yang berkaitan dengan pekerjaan, pemimpin juga harus dapat menggunakan kemampuan komunikasinya untuk membangun hubungan interpersonal dengan bawahan maupun pihak manajemen.
  • Memberikan keteladanan dan Contoh. Kata-kata tidak akan memiliki kekuatan bila orang yang mengucapkannya melakukan hal yang berlawanan. Pemimpin yang baik tidak saja memberikan arahan, tetapi juga memberikan keteladanan dan contoh yang baik. Seorang pemimpin juga perlu bersikap rendah hati, realistis, dan ramah. Pemimpin yang dianggap menyebalkan tentunya akan sulit untuk mendapatkan penghargaan dari anggotanya.
  • Mampu Mempercayai Orang. Tak peduli seberapa hebatnya seorang pemimpin, tetap saja ia tidak akan mampu mengerjakan suatu tugas yang besar dan kompleks sendirian. Seorang pemimpin yang baik, harus dapat menilai kemampuan orang dan mendelegasikan tugas berdasarkan hasil penilaian itu. Ia tidak akan dapat mendelegasikan tugas bila tidak mempercayai orang lain. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat mempercayai orang lain tanpa kehilangan kewaspadaan.
  • Mampu Menahan Emosi. Pemimpin yang baik perlu memiliki kemampuan menahan emosi. Bukan sekedar hanya menghindari marah-marah yang tidak beralasan, tetapi juga harus mampu menyembunyikan kepanikan dan kekhawatiran dalam menghadapi masalah. Secara psikologis, bila pemimpin terlihat panik, anak buahnya pun cenderung untuk ikut panik.
  • Tahan Menghadapi Tekanan. Pemimpin yang baik harus tahan menghadapi tekanan. Banyak orang berpikir bahwa menjadi pimpinan itu menyenangkan karena tinggal menyuruh saja. Padahal, tekanan terbesar untuk berhasil, berada di pundak pemimpin. Bila pemimpin tidak tahan menghadapi tekanan, ia akan membuat kesalahan-kesalahan fatal yang menggiring pada kegagalan.
  • Bertanggung Jawab. Ketika keputusan sudah diambil, semua pihak dalam organisasi harus mendukungnya. Bila ternyata keputusan yang diambil berdampak buruk, maka pemimpin tersebut harus bernai bertanggung jawab dan tidak sekedar melemparkan masalah pada orang lain. Tanggung jawab bukan hanya berarti  mengakui kesalahan, tetapi juga memberikan solusi dari permasalahan tersebut.
  • Mengenali Anggota. Seorang pemimpin perlu mengenali lebih dari sekedar nama para anggotanya. Pemimpin juga perlu mengetahui kemampuan dan karakter dari anggotanya sehingga tiap orang ditempatkan pada posisi yang tepat dan saling bersinergi.
  • Cekatan dan Penuh Inovasi. Dalam menghadapi peluang dan ancaman, seorang pemimpoin yang baik perlu memilki sifat cekatan serta berani berinovasi. Maksudnya, pemimpin harus sigap terhadap perubahan situasi dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada dengan sumber daya yang tersedia (Gordon, 1990).
v Situational Leadership
Harsey & Blanchard mengembangkan model kepemimpinan situasional efektif yang didasarkan pada pola perilaku pemimpin saat menghadapi berbagai tingkat kematangan (maturity) para bawahan atau pengikutnya.
Ada 4 tingkat kematangan bawahan, yaitu:
- M 1 : bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan
- M 2 : bawahan tidak mampu, tetapi memiliki kemauan bekerja
- M 3 : bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan
- M 4 : bawahan mampu dan memiliki kemauan untuk menyelesaikan tugas.
Lalu, sebagai solusinya ada 4 gaya yang efektif untuk diterapkan berdasarkan tingkat kematangan bawahan, yaitu :
- Gaya 1 : telling, pemimpin memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan      tugas dan kinerja anak buahnya.
- Gaya 2 : selling, pemimpin menjelaskan keputusannya dan membuka kesempatan untuk bertanya bila kurang jelas.
- Gaya 3 : participating, pemimpin memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide-ide sebagai dasar pengambilan keputusan.
- Gaya 4 : delegating, pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahannya.

v Transformational Leadership.
Robert house menyampaikan teorinya bahwa kepemimpinan yang efektif menggunakan dominasi, memiliki keyakinan diri, memengaruhi dan menampilkan moralitas tinggi untuk meningkatkan kekarismatisannya. Dengan karismanya pemimpin transformasional akan menantang bawahannya untuk melahirkan karya istimewa. Langkah yang dilaksanakan pemimpin ini biasanya membicarakan dengan pengikutnya bagaimana pentingnya kinerja mereka, bagaimana bangga dan yakinnya mereka sebagai anggota kelompok, bagaimana istimewanya kelompok yang akan menghasilkan karya luar biasa. 

2.2  TIPOLOGI KEPEMIMPINAN
Sondang P. Siagian pernah mengklasifikasikan kepemimpinan ke dalam lima tipe, yakni:
v  Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
v  Tipe Militeristis. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; dan Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
v  Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
v  Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-musyabab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Contohnya Gandhi yang bukan orang kaya dan Iskandar Zulkarnain bukanlah orang yang fisiknya sehat.
v  Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin (http://nursepoint.blogspot.com/2007/11/teori-kepemimpinan.html).

2.3  ANALISIS KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DI NEGARA INGGRIS
            Seperti yang telah diutarakan di atas, kepemimpinan negara Inggris  berada di tangan Ratu Inggris yang berfungsi sebagai simbol pemersatu bangsa. Sedangkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, berperan dalam menjalankan tugas kepemerintahan sehari-hari yang tentu juga memiliki kekuasaan politik yang besar karena perdana menteri merupakan pemimpin partai politik yang menguasai mayoritas anggota di parlemen. Saat ini kepemimpinan Negara Inggris dipegang oleh Ratu Inggris, yakni Ratu Elizabeth II, yang telah menjadi kepala negara selama 56 tahun. Sedangkan kepala pemerintahan saat ini dipegang oleh Gordon Brown yang sejak 2007 lalu menggantikan Toni Blair yang merupakan koleganya di Partai Buruh. Untuk menganalisis Keefektifan kepemimpinan di Inggris ini, perlu kiranya melihat gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Sang Ratu sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintah.
·      Gaya kepemimpinan Ratu Elizabeth II
Ratu Elizabeth II adalah salah satu kepala monarki yang paling lama berkuasa dalam sejarah Inggris sejak "William si Penakluk" merapat di wilayah Britania dan merebut kekuasaan pada tahun 1066. Pada panggung percaturan dunia, Elizabeth II telah berhasil melewati era perang dingin, jatuhnya komunisme serta masa munculnya "prasangka dan ketakutan" dunia Barat akan kebangkitan Islam. Sama halnya dengan Elizabeth I, Elizabeth II juga melihat negaranya sebagai salah satu negara besar dan kuat di dunia dengan posisinya sebagai pemimpin politik dan ekonomi dunia. Untuk pentas dalam negeri, masa kekuasaan Elizabeth merentang melewati krisis terusan Suez tahun 1956, melewati krisis pemberontakan Irlandia dengan aksi ledakan bomnya, pola aksi buruh gaya baru yang didobrak dan diinspirasikan oleh kelompok pemusik pembaruan the Beatles. Dalam usia memasuki 83 tahun, ia masih penuh energi dan vitalitas setelah melewati gonjang-ganjing "Puri Windsor" akibat keretakan rumah tangga putra pertamanya selama 20 tahun terakhir berikut dengan segala skandalnya (http://www.gatra.com).
Penggambaran dirinya yang selama ini dilekatkan pada menggunakan kata sifat seperti "jaga jarak" dan "kaku" telah digantikan dengan kata-kata yang jauh lebih hangat. Kini ia digambarkan sebagai "ibu mertua yang tidak terlalu dingin" yang dikritik semua orang karena tak meneteskan satu butir air matapun namun tampil dengan wajah tegas saat kematian menantunya Putri Diana pada tahun 1997 dan kini lebih dianggap sebagai ikon konstitusi, batu sendi bangsa dan menjadi sumber kebanggaan seluruh rakyat Inggris. Selama bertahun-tahun, gambaran diri seorang wanita yang paling lama bertahta telah berangsur-angsur berubah dari wanita kaku dan dingin menjadi seorang wanita penyayang binatang yang kehidupannya yang sangat dekat dengan alam dan lebih senang menikmati waktunya melihat indahnya pepohonan daripada mengagumi koleksi mahkota kerajaan yang bertahtakan permata nomor satu di dunia. Perubahan citranya dalam tahun-tahun setelah 1997 adalah hasil dari kerja keras pihak publikasi dan humas istana yang banyak membantu menumbuhkan simpati masyarakat mulai sejak kematian adiknya, Putri Margaret dan ibundanya (Ibu Suri) pada tahun 2002, yang bersamaan dengan perayaan tahun emas ia naik tahta.
Pada masa awal memegang tampuk kekuasaan, ia bergantung pada para penasihat dan orang-orang kepercayaan ayahnya, namun sejalan dengan waktu ia membawa masuk para diplomat karir dan kelompok wirasusahawan ke dalam lingkungan kerajaannya, dan terus memperbarui sistem kerajaan.
Pada tahun 1992 ia menyikapi kritik masyarakat akan kekayaan orang-orang keluarga kerajaan dengan menyatakan siap membayar pajak penghasilan dan mencoret sebagian nama-nama yang selama ini masuk daftar keluarga kerajaan sebagai salah satu upaya penghematan negara.
Khusus pada peristiwa meninggalnya Putri Diana, perubahan yang secara tiba-tiba dan tidak sedap ini menjadi ujian berat bagi Ratu Elizabeth II. Seluruh rakyat Inggris saat itu menginginkan agar kerajaan mengeluarkan pernyataan bela sungkawa dan memakamkan “the people princess” dengan upacara kerajaan, bahkan bendera istana Buckingham agar diturunkan menjadi setengah tiang padahal pada saat peristiwa itu terjadi Putri Diana sudah bukan anggota kerajaan lagi setelah bercerai dari Pangeran Charles. Reaksi pertama Ratu saat itu adalah mengungsikan keluarganya ke Skotlandia. Sementara itu di kota London, gerbang istana sudah tertutup oleh lautan bunga yang diletakkan orang-orang sebagai tanda duka cita. Pada saat yang bersamaan semua tabloid di Inggris sibuk mengutuk keluarga kerajaan yang dianggap “dingin dan tidak berperasaan”. PM Tony Blair berkali-kali mengingatkan bahwa rakyat Inggris ingin melihat keluarga kerajaan ikut berduka cita namun peringatan Blair tersebut tak diacuhkan. Ratu baru bersedia mengikuti kemauan rakyatnya setelah mendapat shock therapy dari hasil poling koran yang menunjukkan bahwa mayoritas ingin kerajaan dihapuskan saja. Akhirnya, Ratu Elizabeth II bercerita kepada Blair mengenai alasannya bungkam terhadap kejadian tersebut. “Pemimpin tidak boleh menunjukkan emosi. Begitulah aku dididik dan begitulah caranya aku memimpin Inggris dalam masa perang dulu. Aku tidak mengetahui bahwa sekarang semuanya telah berubah.” Ternyata sang Ratu tak bermaksud buruk. Hanya saja ia harus menerima bahwa “hikmat” jaman dulu tentang seorang pemimpin yang “dingin” ternyata tidak lagi bisa diterima oleh rakyat. Norma yang dulunya “umum” ternyata sudah menjadi tidak umum lagi. Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Acapkali terbersit di pikiran bahwa menjadi pemimpin artinya menjadi diktator. Diberikan hak, fasilitas dan privillage lainnya untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Namun, ternyata tidak demikian, seorang pemimpin justru adalah sosok yang harus mendengar dan rela berubah.
Salah satu kunci sukses untuk tetap bertahan sebagai pemimpin adalah disiplin untuk mendengar dan berubah. Konsekuensinya jika tidak mau berubah, maka bawahan akan beralih kepada pemimpin lain (dalam hal ini bukan bawahan dapat menyingkirkan pimpinan namun akan berusaha mencari figur populis bagi mereka). Belajar dari pengalaman Sang Ratu bahwa untuk saat ini menjadi seorang pemimpin haruslah memiliki jiwa kepemimpinan yang melayani (servant leadership), melayani apa yang dinginkan oleh publiknya. Pendekatan servant leadership berbeda dengan pendekatan seorang guru kungfu yang selalu menyimpan jurus kungfu terakhir bagi dirinya sendiri tanpa pernah mengajarkannya kepada muridnya. Karena siapa tahu, suatu hari nanti si murid tersebut dapat mengalahkan gurunya, sehingga posisi dan bahkan nyawa gurunya terancam. Sudah barang tentu filsafat guru kungfu ini berbeda dengan filsafat servant leader dalam dunia pelayanan, baik di kantor ataupun di arena publik. Mengubah paradigma untuk beralih dari “hikmat” yang sudah sejak dulu dipegang dan diturunkan oleh para pendahulu jelas tidak mudah. Seorang servant leader adalah seorang yang memberikan pengaruh transformasional pada orang-orang di sekitarnya, yang diubahkan secara positif dalam berbagai dimensi: intelektual, relasional, sosial dan spiritual. Inilah yang dimaksud Robert Greenleaf dalam bukunya “Servant Leadership”.
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa selain menggunakan sifat kekarismatisannya yang dibawanya sejak lahir, Ratu ternyata juga menjalankan kepemimpinannya dengan integritas yang tinggi, sikap selalu terbuka pada perubahan, penuh ketegasan, memiliki visi yang jelas, sikap untuk mau percaya kepada orang lain, dan yang paling penting adalah keberpihakan kepada rakyat (servant leadership). Integritas Ratu terlihat dengan sikapnya yang mencurahkan daya pikiran dan tenaganya sejak umur 25 tahun hingga 83 tahun untuk kejayaan negara Inggris. Walaupun sebenarnya saat ini bisa saja ia memberikan tahtanya tersebut kepada pewarisnya yaitu Pangeran Charles. Namun, karena kecintaannya terhadap negaranya, ia memutuskan untuk memimpin Inggris hingga akhir hayatnya. Sikap selalu terbuka pada perubahan ditunjukkannya dengan kecekatannya merespon keinginan-keinginan publik seperti menyatakan siap membayar pajak penghasilan dan mencoret sebagian nama-nama yang selama ini masuk daftar keluarga kerajaan sebagai salah satu upaya penghematan negara. Hal ini sekaligus menunjukkan ketegasan Ratu dalam membuat keputusan yang berpihak kepada rakyat, meskipun itu juga menyangkut kerabat kerajaan sendiri. Ia juga memiliki visi yang jelas dengan memosisikan Inggris sebagai pemimpin ekonomi dan politik di dunia. Kemauan Ratu untuk membawa masuk para diplomat karir ke dalam lingkungan kerajaannya juga menunjukkan bahwa ia percaya kepada kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang tersebut.
Sikap-sikap yang dimiliki Ratu tersebut, menunjukkan bahwa ia telah berhasil menjadi pemimpin yang efektif di negaranya yang terbukti dengan keberhasilan Inggris melalui beberapa tragedi penting seperti yang telah disebutkan di atas. Selain karakter kepemimpinan yang dimiliki Ratu, pihak publikasi dan humas istana yang ada di belakang Ratu juga memiliki andil besar. Mereka berperan untuk memberi saran kepada Ratu tentang bagaimana cara berkomunikasi yang efektif agar kekarismatisannya tidak pudar. Mereka pula yang bertugas memainkan strategi komunikasi agar apa yang disampaikan Ratu kepada rakyatnya, dapat ditangkap sangat jelas. Strategi komunikasi ini penting artinya mengingat bahwa seorang pemimpin haruslah bisa menyampaikan visi dan misinya sangat jelas dan menarik, sehingga para pengikutnya tergugah semangatnya untuk bekerja keras mewujudkan visi dan misinya (Dhani, 2004).
·      Gaya Kepemimpinan Gordon Brown
Sebelum menjadi seorang perdana menteri, Gordon Brown adalah seorang menteri keuangan dalam kabinet yang dibentuk Tony Blair, seorang politikus pandai yang penuh pesona dalam satu generasi di Inggris Raya. Brown yang selama sepuluh tahun menjadi menteri keuangan di era Blair, telah membawa Inggris ke perluasan dan perkembangan ekonomi. Derek Scott, mantan penasehat ekonomi Tony Blair pernah mengatakan bahwa Gordon Brown merupakan menteri keuangan paling baik yang dimiliki Inggris dalam seratus tahun terakhir. Kemudian, di awal menjabat menjadi Perdana Menteri, Brown yang seorang pekerja keras, berhasil mengatasi krisis, seperti serangan teror, banjir besar maupun penyebaran penyakit mulut dan kuku.  Di dalam mengatasi krisis global, Brown segera menjamin persediaan modal untuk bank-bank domestik, baik dalam bentuk penyediaan pinjaman maupun pembelian saham. memerintahkan penyediaan anggaran 50 miliar pound sterling atau US$ 88 miliar sebagai pinjaman darurat bagi bank dan perusahaan keuangan yang dirundung kredit macet. Sebagai imbal-balik, pemerintah akan menguasai sebagian kepemilikan bank-bank penerima rekapitalisasi.
Bank Sentral Inggris juga siap mengucurkan pinjaman jangka pendek hingga 200 miliar pound sterling, atau naik dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Selain itu juga disiapkan jaminan pinjaman hingga 250 miliar pound sterling dengan suku bunga komersil untuk memastikan agar pinjaman antar bank tetap berlangsung (www.suarakarya-online.com).
Berbeda dengan sosok Blair yang karismatis bak selebriti dan cenderung otoriter dalam menjalankan roda pemerintahan, Brown adalah sosok yang sederhana, lebih demokratis, namun tidak terlalu pintar dalam berpolitik. Hal ini bisa saja disebabkan oleh latar belakangnya yang pernah manjadi rektor di salah satu perguruan tinggi di Inggris, di mana seorang rektor tentu lebih fokus kepada program-program perbaikan mutu instansinya dan jarang memikirkan dunia politik yang penuh dengan intrik. Di awal karirnya sebagai perdana menteri, ia sempat mengatakan bahwa ia bertekad akan menjadikan pemerintahannya sebagai pelayan negara, bukan pemerintahan sentralistis dari atas. Dia akan mendengarkan aspirasi rakyat yang telah memilih dan tidak akan takut mengakui kesalahan ataupun mengubah arah kebijakannya. Hal ini dikarenakan keyakinan Brown akan pandangan progresif warga kepada pemerintah di abad 21 ini, yakni warga negaralah yang mengendalikan. Warga negara wajib dilayani dan bukan didikte oleh pemerintah (http://rizkisaputro.wordpress.com).  
Salah satu upaya untuk mewujudkan keinginannya di atas, Brown telah memperluas basis parlementernya dan memperbanyak penampilannya di hadapan publik. Ia telah menunjuk para menteri dari berbagai kepercayaan politik, termasuk para anggota parlemen Muslim, ke dalam kabinetnya. Ia juga mengungkapkan rencananya untuk memformulasikan sebuah Konstitusi Tertulis dan sebuah Bill of Rights baru. Tujuannya adalah untuk melahirkan kepercayaan di dalam sistem politik Inggris, mereduksi alienasi politik dan memberikan sebuah rasa percaya diri terhadap identitas Inggris.
Namun sayangnya, langkah-langkah Brown ini hanya mendapat apresiasi dari rakyat Inggris pada awal tahun kepemerintahannya saja. Setahun belakangan ini, popularitasnya justru menurun karena tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan perkataannya serta kebijakan-kebijakannya terkait operasi di timur tengah seperti di Iraq dan Afghanistan. Brown pernah mengatakan akan menggelar pemilu pada tahun 2009 ini, tapi kenyataannya hal itu tidak terjadi. Menurut para pengkritik, Brown berubah pikiran pada saat-saat terakhir karena berdasarkan poling lembaga survey di Inggris partai buruh tingkat elektablitasnya sedang di bawah partai konservatif. Selain itu, janji Brown yang hendak memulangkan seluruh tentara di Inggris pada saat kampanye pencalonan dirinya, ternyata tidak kunjung terjadi. Brown hanya memulangkan sebagian kecil dari jumlah tentaranya karena ingin tetap menancapkan kukunya di kedua negara tersebut (Irak dan Afghanistan). Masyarakat Inggris pun mulai perlahan menurun tingkat kepercayaannya terhadap Brown meskipun Brown telah melakukan berbagai upaya agar publisitasnya tetap terjaga. Misalnya saja senantiasa berkampanye untuk memperbaiki lingkungan hidup demi mengatasi global warming. Namun tetap saja, upaya tersebut tidak mengurangi tekanan publik kepada Brown untuk segera mundur (www.kabarindonesia.com).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Brown kurang mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ia dinilai oleh rakyatnya selalu bersikap ragu-ragu dalam bertindak dan mudah dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya dalam membuat suatu keputusan. Akibatnya, apa yang dikatakannya di media massa, sering berubah-ubah yang membuat iklim investasi di Inggris terancam hancur. Selain itu, para manajer komunikasi Brown juga tidak pandai untuk memoles Brown agar tetap terjaga popularitasnya. Mereka kurang ahli untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan Brown yang populis kepada masyarakat. Para pembantu terdekat ini seringkali juga dianggap terlalu berkuasa di media hingga mempengaruhi atau mempolitisasi birokrasi yang terkenal sangat netral yang mana hal ini tidak disukai oleh masyarakat Inggris. Sebagai seorang kepala pemerintahan, harusnya Brown memiliki sikap percaya diri yang tinggi terhadap setiap cara pandangnya dan kebijakannya, yang tentu saja kepercayaan diri ini bisa lahir apabila kebijakan yang dibuat memang benar-benar untuk rakyat. Dan apabila Brown memang benar-benar seorang demokrat, maka ia tentunya akan mendengarkan keinginan rakyat Inggris yang menuntutnya untuk mundur hari ini. Bagi seorang demokrat, mundur bukanlah berarti kalah, melainkan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menunjukkan kompetensinya demi kepentingan yang lebih luas sifatnya.
2.4 ANALISIS KEPEMIMPINAN DI INGGRIS BERDASARKAN CULTURAL  DIMENSION
            Cultural Dimension merupakan pisau analisis yang membedah gaya kepemimpinan seseorang berdasarkan lima dimensi, dan pembedahan ini akan dilakukan pada gaya kepemimpinan Ratu Elizabeth II sebagai Kepala Negara dan Gordon Brown selaku Perdana Menteri berdasarkan apa yang telah diuraikan di bagian sebelumnya. Lima dimensi tersebut antara lain:
1.    Power Distance (Rentang Kekuasaannya), indikator ini melihat seberapa besarkah pengaruh dari seorang pemimpin tersebut (Big Or Small Power Distance).
2.    The Way to Work (Cara Kerja), indikator ini melihat cara kerja dari seorang itu apakah dalam menyelesaikan pekerjaan cenderung individualis atau lebih menjunjung semangat kebersamaan (collectivism).
3.    Emotion (Emosi), indikator ini melihat emosi dan cara bersikap seorang pemimpin. Apakah seorang pemimpin itu lebih cenderung menunjukkan sisi kemaskulinannya atau kefemininannya. Kedua sisi tersebut tidak merujuk pada gender karena setiap manusia memang dibekali kedua sisi tersebut. Contoh dari sisi kemaskulinan ini adalah sifat pemimpin yang tegas namun di satu sisi tidak peka terhadap keinginan dari pegawai, sedangkan untuk sisi kefemininan justru sebaliknya.
4.    Work Situations (Situasi Pekerjaan), indikator ini melihat bagaimana situasi pekerjaan yang disukai oleh pemimpin, apakah situasi yang harus terstruktur (structured situations) atau yang tidak terstruktur (unstructured situations).
5.    Orientation (Cara berpikir), indikator ini untuk melihat apakah cara berpikir atau cara pandang pemimpin itu jauh ke depan (long term orientation) atau hanya bersifat jangka pendek (short term orientation) saja.
·      Cultural Dimension Gaya Kepemimpinan Ratu Elizabeth II
            Berdasarkan bagan di atas, dapat disimpulkan lima hal tentang gaya kepemimpinan Ratu Elizabeth II, yakni:
1.    Ratu memiliki pengaruh yang kuat di hati para penduduk Inggris dan Negara Persemakmurannya. Hal ini dibuktikan dengan tidak dibubarkannya Kerajaan dari zaman dulu sampai sekarang walaupun kerajaan tersebut mendapatkan penghasilan dari berbagai pajak yang dibayarkan oleh rakyat Inggris. Ini menunjukkan bahwa Ratu sudah menjadi batu sendi bangsa.
2.    Gaya kepemimpinan Ratu bersifat kolektif yang dapat dibuktikan dengan kemauannya untuk mendengarkan apa yang diinginkan rakyat dan memasukkan sejumlah diplomat karir ke dalam lingkungan kerajaan untuk bersama-sama membenahi sistem kerja di kerajaan.
3.    Kemaskulinan Ratu nampak pada keputusan-keputusannya yang tegas, berani mengambil resiko, dan berpihak kepada rakyat. Seperti keputusannya untuk mencoret sejumlah nama kerabat kerajaan dari daftar keluarga kerajaan sebagai salah satu upaya penghematan negara, dan ketidakinginannya menunjukkan rasa kesedihannya ketika Putri Diana wafat  karena Ratu menganggap dengan menunjukkan kesedihannya berarti Ia menunjukkan kelemahannya. Ketegasan seperti inilah yang disukai oleh rakyat Inggris yang karakteristik masyarakatnya konservatif walaupun pada kasus meninggalnya Putri Diana menjadi blunder juga bagi Ratu.
4.    Ratu lebih menyukai sesuatu hal yang terstruktur karena dengan sesuatu yang terstruktur tersebut semuanya dapat berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan Ratu membawa Inggris melewati berbagai macam tragedi seperti perang dingin, runtuhnya komunisme, dan datangnya era globalisasi.
5.    Ratu merupakan pemimpin yang memiliki pemikiran jauh ke depan yang dibuktikan dengan visinya yang memosisikan Inggris sebagai pemimpin ekonomi dan politik di dunia serta keterbukaannya dengan berbagai saran dan kritik dari rakyatnya.
·        Cultural Dimension Gaya Kepemimpinan Gordon Brown
            Berdasarkan bagan di atas, dapat disimpulkan lima hal tentang gaya kepemimpinan Gordon Brown, yakni:
1.      Gordon Brown tidak memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap para pengikutnya. Hal ini bisa disebabkan karena dia yang tidak begitu pintar untuk berpolitik dan kinerjanya yang sering naik turun (Small Power Distance).
2.      Gordon Brown adalah sosok pemimpin yang lebih menyukai kebersamaan dan merangkul semua golongan. Hal ini bisa dibuktikan dengan tindakannya menunjuk para menteri dari berbagai kepercayaan politik, termasuk para anggota parlemen Muslim, ke dalam kabinetnya.
3.      Gordon Brown adalah sosok pemimpin yang lebih dominan sisi feminity-nya. Hal ini dibuktikan dengan kepekaannya mendengarkan aspirasi rakyat yang menginginkannya merangkul semua golongan dalam kebinetnya. Namun, karena banyaknya golongan yang dirangkul tentunya memunculkan juga berbagai kepentingan yang ada di sana, dan hal itu yang membuat Gordon Brown banyak mendapat bisikan-bisikan politik yang membuat Gordon Brown ragu-ragu dalam bertindak.
4.      Sebagai mantan Menteri Keuangan, tentu Gordon Brown merupakan sosok pemimpin yang menginginkan adanya sistem struktur dalam kabinetnya.
5.      Gordown Brown merupakan pemimpin yang cenderung tidak mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang atau lebih seing berpikir jangka pendek. Hal ini dibuktikan dengan ketidakkonsistenan dari perkataannya seperti janjinya untuk memulangkan seluruh tentara Inggris dari Afghanistan dan Irak yang hingga kini tidak kunjung terjadi.

3.1 TEMUAN MENARIK
Ada beberapa hal menarik yang dapat ditemukan dalam paper ini, yaitu:
a)      Ratu Elizabeth II sebenarnya tidak memiliki hak untuk menjadi kepala negara Inggris apabila pamannya yakni Raja Edward VIII tidak menyerahkan mahkota kekuasaan kepada ayahnya Geroge VI. Raja Edward VIII ternyata lebih berat kepada cintanya yakni seorang janda Amerika sehingga menyerahkan tahtanya kepada Geroge VI.
b)      Kemauan Ratu untuk merubah sikapnya atas kematian mantan menantunya yakni Putri Diana. Pada awalnya Ratu tidak berkenan (walaupun secara pribadi beliau juga turut kehilangan) memberikan ucapan bela sungkawa dan memakamkan secara kerajaan jenazah Putri Diana karena memang ketika itu Putri Diana telah resmi bercerai dengan Pangeran Charles. Namun dengan melihat kondisi di masyarakat Inggris bahkan dunia yang menginginkan adanya ucapan bela sungkawa dari kerajaan, maka Ratu pun berkenan. Hal ini demi kecintaan Ratu pada rakyatnya semata.
c)      Di dalam sistem pemerintahannya, ternyata Inggris tidak memiliki konstitusi yang terkodifikasi dalam satu naskah tertulis, tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum dan konvensi. Jadi, dalam hal ini sangat dibutuhkan integritas dari tiap-tiap kepala suatu instansi, termasuk Perdana Menteri, untuk memahami peraturan-peraturan tersebut secara komprehensif dan “menularkan” pengetahuannya kepada para bawahannya atau rekan sejawatnya.
d)      Keberhasilan Gordon Brown di dalam mengatasi krisis global dengan segera menjamin persediaan modal untuk bank-bank domestik, baik dalam bentuk penyediaan pinjaman maupun pembelian saham patut diapresiasi karena mampu memberikan inspirasi bagi negara-negara lain dalam mengatasi krisis global.
3.2 REKOMENDASI
Rekomendasi yang dapat diberikan terkait kepemimpinan yang efektif di negara demokrasi seperti Inggris ini antara lain adalah:
a)        Memiliki juru bicara yang ahli strategi komunikasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya karena itu dapat membantu pemimpin untuk menyosialisasikan keputusan-keputusannya dengan benar kepada rakyat, dan dapat memoles kewibawaan seorang pemimpin di mana hal itu sangat dibutuhkan dalam memimpin sebuah negara.
b)        Kepemimpinan yang bertipe demokratis jelas sangat dibutuhkan di negara yang menganut demokrasi agar kepentingan rakyat banyak dapat terakomodasi dengan baik. Dan setelah terakomodasi, tentunya kepentingan tersebut diharapkan dapat terealisasi. Dengan demikian, secara sendirinya orang yang menerapkan tipe kepemimpinan demokratis ini akan mampu menciptakan kepemimpinan yang efektif yang diukur dari sejauh apa keputusannya itu diterima oleh orang banyak.
c)        Rasa percaya diri yang tinggi dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Namun, rasa percaya diri ini bukan berarti menafikan pendapat dari orang lain. Bila ternyata terdapat pendapat yang lebih bagus, maka seorang pemimpin yang efektif juga tidak boleh malu-malu untuk memakainya. Karena sesungguhnya salah satu ciri pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang inovatif yang terbuka terhadap perubahan dan perbedaan.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Firdaus. 2007. Demokrasi Konstitusional. http://hukumtatanegaraindonesia.blogspot.com/2007/07/demokrasi-konstitusionil.html diakses tanggal 11 Desember 2009.
Dhani, Rendro. 2004. Centang Perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megawati. Jakarta: LP3ES.
Forlan. 2009. Kegagalan Operasi Tentara Inggris Panther Claw. http://pendengardakta.blogspot.com/2009/07/kegagalan-operasi-tentara-inggris.html diakses tanggal 15 Desember 2009.
Gordon, Thomas. 1990. Kepemimpinan yang Efektif. Jakarta : CV. Rajawali.
Saputro, Rizky. 2007. Inggris di Bawah Kepemimpinan Gordon Brown Sama Saja. http://rizkisaputro.wordpress.com diakses tanggal 11 Desember 2009.
Redaksi Gatra. 2006. Ratu Elizabeth II Duduki Tahta Terlama. http://www.gatra.com diakses tanggal 11 Desember 2009.
Redaksi Suara Karya. 2007. Blair turun dari Kursi PM Inggris. www.suarakarya-online.com diakses tanggal 14 Desember 2009.
Redaksi Kabar Indonesia. 2007 Tentara Inggris Lari Terbirit-birit di Irak. www.kabarindonesia.com diakses tanggal 11 Desember 2009.
Rtumpal. 2007. Ingin Berubah Atau Ditinggalkan? (Suatu Pilihan Bagi Rakyat). http://rtumpal.wordpress.com/2007/09/07/64/ diakses tanggal 11 Desember 2009.
Wijayanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan SMA dan MA Kelas XII. Jakarta : Piranti Darma Kalokatama.
Winarto, Eko. 2007. Teori Kepemimpinan. http://nursepoint.blogspot.com/2007/11/teori-kepemimpinan.html diakses tanggal 15 Desember 2009.




Categories: