Seperti Kereta Maglev yang terus melaju dan menginpirasi

Banner 468

Demokrasi dalam Monarki

Posted by Irendy on - -


Beberapa waktu yang lalu, Provinsi D.I. Yogyakarta sering dikumandangkan di beberapa media, baik cetak, audio, ataupun audiovisual. Tulisan ini sekadar mengingatkan pembaca mengenai polemik 'Keistimewaan' yang didapatkan oleh Yogyakarta serta kaitannya mengenai alam demokrasi di sana yang tentu saja penguraiannya berdasarkan kacamata penulis. 
Ketika recovery korban dan lokasi gempa sedang berjalan, terhembus kabar dari pemerintah pusat bahwa akan diadakan pemilihan kepala daerah di Yogyakarta, sebuah provinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan tersendiri karena track record-nya dalam mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti yang tertulis dalam pasal 122 UU nomor 22 tahun 1999 beserta penjelasannya dimana hal ini juga teah diakui pada UU 32 nomor 2004, pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.
            Kabar akan adanya pemilihan kepala daerah ini, tentu saja membuat gerah masyarakat Yogyakarta yang sudah nyaman dengan tatanan sosial politik yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun di Yogyakarta. Apalagi dalam proses penyampaian kabar ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan statement yang membuat hati masyarakat Yogyakarta terluka. Dalam sambutannya saat mengawali rapat kabinet untuk membahas RUU Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta, Presiden SBY menyatakan tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti di Indonesia. Oleh karena Presiden SBY menyampaikannya saat akan dilangsungkannya rapat pembahasan RUUK Yogyakarta, wajar saja bila masyarakat Yogyakarta menganggap bahwa istilah sistem monarki tersebut ditujukan kepada pemerintahan di daerahnya. Lalu, dalam menanggapi reaksi warga Yogyakarta, beliau memberikan statement bahwa Sultan masih pantas menjadi Gubernur untuk periode 5 tahun ke depan. Statement ini ternyata justru semakin memantik kemarahan warga Yogyakarta karena hal ini mengisyaratkan bahwa jabatan Gubernur yang sebenarnya dapat diemban Sultan selama ia masih hidup, ingin dibatasi oleh Pemerintah pusat. Padahal, warga Yogyakarta masih menginginkan Sultan yang menjadi Gubernurnya sampai beliau meninggal.
            Seyogyanya dalam membuat RUUK tersebut, pemerintah harus terlebih dahulu menyadari makna keistimewaan bagi masyarakat Yogyakarta dan asal-usul keistimewaan tersebut. Ketika UU tentang Pemerintahan Daerah mulai dari UU nomor 5 tahun 1974 hingga UU nomor 32 tahun 2004 tidak mempersoalkan sistem pemerintahan daerah di Yogyakarta, lantas mengapa rezim yang sekarang berkuasa begitu keras kepala untuk meng-goal-kan klausul bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Yogyakarta harus ditetapkan melalui pemilihan kepala daerah (pemilukada)? Banyak orang yang mencurigai motifnya adalah dendam politik sendiri kepada Sultan karena ormas yang diasuh oleh Sultan, yakni Nasional Demokrat, begitu kencar mengritik pemerintahan SBY. Dalam menanggapi hal ini, pemerintah beralasan bahwa klausul yang ada dalam RUUK tersebut didesain dengan tujuan menyelamatkan kemuliaan Kesultanan sendiri dan meminimalisasi adanya disintegrasi bangsa. Pemerintah melalui Gamawan Fauzi mengatakan bahwa kemuliaan dari Kesultanan akan terreduksi jika ada sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan kinerja Sultan, lalu mereka memobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi atau menghembuskan isu negatif tentang Sultan. Kemudian, pemilukada di Yogyakarta juga dapat meminimalisasi disintegrasi bangsa karena dapat membuat daerah-daerah lain menjadi segan untuk menuntut adanya keistimewaan yang serupa di daerahnya.
            Menurut kacamata penulis, sebuah UU itu dikeluarkan untuk menyelesaikan sebuah masalah, bukan untuk memunculkan sebuah masalah baru. Dalam konteks RUUK Yogyakarta ini, pemerintah pusat harusnya menyadari bahwa bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI itu disebabkan oleh kebesaran jiwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memang ingin melebur menjadi satu dengan Indonesia. Pada saat perang mempertahankan kemerdekaan, Kesultanan rela mengeluarkan pundi-pundi emasnya untuk memberikan tentara Indonesia makanan, obat-obatan, pakaian, dan kebutuhan perang lainnya. Bahkan, salah satu Istana Sultan diberikan kepada Presiden Soekarno untuk digunakan sebagai Istana Presiden pada waktu ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada saat perang telah usai, Bung Hatta pernah menanyakan kepada Sultan apakah bantuan-bantuan tersebut perlu dibayar oleh Pemerintah? Lalu, dengan kebesaran hati Sultan menjawab bahwa bantuan tersebut ikhlas diberikan untuk kemerdekaan NKRI. Perang gerilya mengusir penjajah yang terkenal dengan Serangan umum 1 Maret 1949 pun adalah hasil inisiatif dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan histori seperti ini, maka sudah sepantasnya bila Presiden Soekarno memberikan sebuah keistimewaan bagi Yogyakarta.
            Pemerintah pusatpun juga harus mengingat bahwa ada dua macam monarki, yakni monarki absolute yang tidak sejalan dengan demokrasi dan monarki konstitusional yang bisa berjalan seiring dengan demokrasi. Menurut penulis, monarki konstitusional inilah yang terjadi di Yogyakarta. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam IX juga menggunakan sendi-sendi demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap berlangsung dengan baik di Yogyakarta. Para mahasiswa bebas untuk melakukan demonstrasi, para seniman bebas untuk menggelar pameran atau pertunjukan, para pengusaha bebas mengembangkan usahanya, dan kepala desapun dipilih menggunakan mekanisme musyawarah oleh para warganya. Dengan realita semacam ini, apakah masih tidak memungkinkan sistem monarki yang demokratis ini diterapkan dan menjadi bagian dari Indonesia?
            Penulis berpendapat bahwa pemerintah saat ini telah mengidentikkan pemilihan kepala daerah dengan sistem demokrasi. Padahal, pemilihan kepala daerah ini adalah hanya sebuah alat secara prosedural saja. Pemerintah alpa bahwa tujuan dari demokrasi adalah menyejahterakan rakyat. Apabila rakyat Yogyakarta memang sudah secara eksplisit menolak RUUK tersebut, lebih baik pemerintah menarik kembali RUUK versi pemerintah tersebut dan menyerahkan kepada DPR sepenuhnya yang untuk kali ini, entah terkena angin apa, sepakat dengan keinginan rakyat Yogyakarta.
Menurut penulis, alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih concern terhadap tumbuhnya bibit-bibit Neomonarki. Menurut Effendy Ghazali, neomonarki adalah cerminan dari tindakan seseorang atau kelompok orang yang ingin menjadi raja atau bertingkah layaknya raja melalui sumber daya yang mereka miliki, baik orang, barang ataupun uang. Secara sederhananya, hendaknya pemerintah pusat lebih concern untuk memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri daripada mengatur tatanan sosial politik sebuah daerah yang masyarakatnya merasa sudah tidak perlu diatur karena mereka memang mereka sudah nyaman dengan tatanan seperti itu.

Categories: