Seperti Kereta Maglev yang terus melaju dan menginpirasi

Banner 468

Sengketa Sharing Profit Terminal Purabaya

Posted by Irendy on - -

PENDAHULUAN
Pasca reformasi, pemerintah pusat mulai memberlakukan otonomi daerah yang “sebenarnya” kepada pemerintah daerah. Dikatakan “sebenarnya” karena pada masa orde baru daerah hanya dijadikan perpanjangan tangan pemerintah pusat melalui kepala daerah yang sedang menjabat. Hal ini disebabkan oleh fungsi ganda kepala daerah yang selain sebagai perangkat pemerintah daerah, ia juga sebagai perangkat pemerintah pusat yang bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri dalam negeri (Muluk, 2006). Jadi, meskipun pada masa orde baru terdapat UU Nomor 5 Tahun 1974 yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, namun dalam pelaksanaannya UU ini lebih mengarah pada sentralisasi daripada desentralisasi sehingga menimbulkan ketidakpuasan karena berkurangnya derajat demokrasi dan kemandirian daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat bersama DPR yang terbentuk setelah reformasi menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai perbaikan dari UU No 5/1974.
Di dalam UU No 22/1999 terjadi beberapa perubahan mendasar. Penyerahan yang semula menggunakan prinsip ultra vires doctrine berubah menjadi menggunakan prinsip general competence. Melalui prinsip ini, kewenangan pemerintah daerah semakin besar karena kewenangan pemerintah pusat didefinisikan terlebih dahulu, sehingga kewenangan yang tidak didefinisikan menjadi milik pemerintah daerah semuanya. Meskipun pada dasarnya sifat kewenangan atau kekuasan pemerintah daerah masih bersifat shared sedangkan kekuasaan pemerintah adalah eksklusif. Selain itu, UU No 22/1999 ini lebih memberdayakan DPRD dengan tiga fungsi, yakni pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Kepala daerah tidak lagi berfungsi ganda melainkan hanya berfungsi sebagai perangkat pemerintah daerah. Ia dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD pun memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden (Muluk, 2006). Implementasi dari UU No 22/1999 yang mulai dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 ini terdapat beberapa permasalahan yang harus dicarikan pemecahannya. Sebagian kalangan beranggapan bahwa timbulnya berbagai permasalahan tersebut akibat dari kelemahan yang dimiliki oleh UU ini, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU ini. Revisi UU ini akhirnya terwujud dengan disempurnakannya menjadi UU No 32/2004. Akhirnya UU No 32/2004 inilah yang berlaku sampai sekarang.

Perubahan penting yang terdapat dalam UU No 32/2004 ini adalah kembali memasukkan pertimbangan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang partisipatif dan penentuan kepala daerah yang langsung dilakukan oleh masyarakat melalui pemilihan langsung, tidak lagi melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD (Muluk, 2006). Dasar pemikiran yang tertuang dalam penjelasan atas UU No 32/2004 ini adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi yang luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
Selain hal di atas, daerah juga harus mempertimbangkan bahwa terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent (shared) yang artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Pembagian urusan antarsusunan pemerintahan dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria eksternalitas (dampak), akuntabilitas (pertanggungjawaban), dan efisiensi (berdayaguna/berhasilguna). Daerah otonom pun kini memiliki urusan yang dapat dibagi dua, yakni urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, dan prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Di dalam pelaksanaannya, pembagian kewenangan antara pusat dan daerah masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah karena masih ada hambatan berupa ketidaksinkronan antara undang-undang sektoral dengan UU Nomor 34 Tahun 2004. Sering terjadi adu argumen yuridiksi kewenangan dalam menyelesaikan masalah sinkronisasi perundangan yang tentunya butuh waktu yang tidak sebentar. Adanya penarikan kembali sebagian urusan pemerintahan dari daerah ke pusat sebenarnya merupakan cerminan pemerintah pusat yang gamang dan jerih terhadap perkembangan penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pemerintah daerah yang hingga saat ini masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Mereka tidak memiliki upaya untuk melakukan inovasi di daerahnnya agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka mengalami peningkatan, kecuali dengan cara memperbanyak jenis retribusi atau pajak daerah.
Sesungguhnya sengketa pembagian kewenangan tidak saja terjadi antara pusat dengan daerah saja, melainkan juga daerah dengan daerah, bisa antarprovinsi, antarkabupaten/kota, atau provinsi dengan kabupaten/kota. Hal ini biasanya terjadi apabila sesuatu yang diperebutkan kewenangannya terletak diperbatasan atau dampaknya (positif dan negatif) sudah lintas daerah. Di bawah ini akan dicontohkan kasus nyata sengketa kewenangan antara kabupaten dengan kota yakni yang terjadi antara pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo terkait dengan pembagian keuntungan yang dihasilkan oleh terminal Purabaya (Bungurasih) yang notabene milik Surabaya tetapi lahannya berada di Sidoarjo. Dan apabila dilihat dari segi dampaknya, terminal ini adalah antar provinsi karena bus-bus yang ada di sana mengangkut penumpang beserta barangnya hingga lintas provinsi.
Penulis sebenarnya mengambil kasus di atas karena saat acara perkuliahan dosen penulis belum menjelaskan sebenarnya kewenangan atas terminal ini di pihak siapa? Padahal waktu itu penulis sudah menanyakan tentang masalah ini bersamaan dengan pertanyaan tentang sengketa kewenangan atas Bandara Juanda, tetapi nyatanya dosen penulis hanya menjawab tentang sengketa kewenangan atas Bandara Juanda saja. Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk mencari tahu jawabannya sendiri.
ANALISIS
Terminal Purabaya yang pertama kali dioperasikan oleh Pemkot Surabaya pada tahun 1991 ini terletak di Desa Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Maka dari itu, banyak juga yang menyebut terminal Purabaya ini dengan sebutan terminal Bungurasih karena letaknya di Desa Bungurasih. Terminal ini dibangun oleh Pemkot Surabaya sebagai terminal dengan tipe A yang artinya berfungsi untuk melayani kendaraan umum sebagai angkutan antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan.
Terminal Purabaya ini dibangun dan dimodali sepenuhnya oleh Pemkot Suarabaya atas persetujuan dari Pemkab Sidoarjo sebagai pemilik lahannya. Baik biaya pembangunan maupun pembebasan lahan, semuanya ditanggung oleh Pemkot Surabaya. Total investasi hingga peresmian yang telah ditanamkan Pemkot Surabaya mencapai Rp 12,4 miliar. Pemkab Sidoarjo sebagai pemilik lahannya hanya tinggal memproses administrasi, menerbitkan IMB (izin mendirikan bangunan), dan menetapkan perda. Jadi, sebenarnya dari awal pembangunan dan pengoperasian investasi Pemkab Sidoarjo adalah nol (0) persen (www.silaban.net).
Berdasar perjanjian yang dibuat pada awal pengoperasian Terminal Purabaya, sepuluh tahun pertama Sidoarjo mendapat 20 persen dan Surabaya 80 persen. Kemudian, untuk 10 tahun berikutnya, Sidoarjo mendapat 30 persen dan Surabaya 70 persen. Namun, beberapa tahun terakhir ini Pemkab Sidoarjo melalui Bupatinya Win Hendrarso menginginkan sharing pendapatannya diubah menjadi 50 : 50. Hal ini dikarenakan Pemkab Sidoarjo menganggap bahwa modal Pemkot Surabaya yang ditanamkan untuk investasi di Terminal Purabaya sudah balik (balik modal). Selain itu, dampak sosial negatif yang timbul dari keberadaan Terminal Purabaya ini juga menjadi alasan mengapa Pemkab Sidoarjo bersikeras untuk meminta jatah bagi hasil yang lebih besar daripada jatah bagi hasil yang sekarang.
Setelah beroperasi selama hampir 18 tahun, terminal Purabaya berkembang layaknya terminal-terminal lainnya di Indonesia, lengkap dengan potret buramnya sebagai kawasan yang “keras”. Praktik percaloan dan premanisme menjamur, seiring dengan semakin banyaknya orang yang berlalu-lalang di terminal. Terminal Purabaya pun tumbuh menjadi kawasan yang rawan kriminalitas. Terminal ini ikut menjadi saksi atas berbagai kisah pilu orang-orang polos yang diperdaya di sana. Keberadaannya lambat laun mengakibatkan daerah-daerah di sekitarnya ikut menerima limpahan masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, Pemkab Sidoarjo memerlukan tambahan dana untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang timbul akibat keberadaan terminal Purabaya tersebut.
Masalah bagi hasil keuntungan ini juga menjadi salah satu pemicu mengapa Surabaya ingin membangun terminal sendiri karena mereka merasa bahwa seluruh aset yang ada di Terminal Purabaya adalah milik Surabaya sementara Sidoarjo hanya kebetulan saja memiliki tanahnya. Maka dari itu, sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan terburuk, Pemkot Surabaya juga tengah melakukan proses lelang feasible study (studi kelayakan) pembangunan terminal baru. Namun, hal itu bukan jaminan bahwa terminal Purabaya dipastikan akan pindah. Apabila hasil studi kelayakannya tidak memungkinkan, maka pemkot juga memastikan tidak akan jadi membangun (www.silaban.net). Dalam hal ini, Pemkot Surabaya mengajukan usul agar pengelolaan terminal Purabaya diswastanisasikan agar lebih professional, entah itu swasta murni ataupun BUMD. Sehingga transparansi berapa arus keluar masuk pendapatan dari hasil pengelolaan terminal dapat diketahui dengan jelas. Dan hal inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemkab Sidoarjo karena selama ini mereka merasa kesulitan untuk mengakses transparansi pendapatan dan pengeluaran tersebut. Namun sayangnya, sampai paper ini ditulis belum terdapat kejelasan apakah pengelolaan terminal Purabaya ini jadi diswastanisasikan atau tidak.
Menurut penulis jika permasalahannya tentang transparansi arus keluar masuk pendapatan, hendaknya tidak perlu melibatkan pihak swasta, cukup dibenahi saja sistem yang sekarang ini agar lebih transparan. Jika tetap ngotot melibatkan pihak swasta, maka dapat terjadi kemungkinan pendapatan yang diterima oleh Surabaya ataupun Sidoarjo akan berkurang.
Pemkot Surabaya sesungguhnya juga sangat keberatan untuk membangun terminal bertipe A lagi sebagai ganti dari terminal Purabaya. Hal ini disebabkan oleh tidak mudahnya membujuk penduduk untuk bersedia membebaskan tanahnya, complicated-nya birokrasi perizinan, membentuk sistem manajemen lagi, dan rumitnya cara untuk mengatur arus lalu lintas. Pemkot Surabaya berkeinginan agar terminal tetap di daerah Bungurasih karena berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan oleh tim dari ITS menyatakan bahwa Bungurasih masih layak dan memang kecenderungan terminal-terminal di dunia terletak di pinggiran kota. Selain itu, juga masih terdapat lahan di Bungurasih yang dapat dikembangkan. Pemkot Surabaya memiliki harapan agar terminal Purabaya ini mampu menjadi intermodal. Maksudnya, terminal harus saling sambung dengan moda transportasi lain yang akan dikembangkan Surabaya, misalnya busway, komuter, maupun kereta monorel. Hal ini dikarenakan saat ini Surabaya sedang gencar-gencarnya berupaya mengatasi masalah transportasi.
Pekembangan terbaru, pemprov juga ingin ikut dilibatkan dengan pembagian pendapatan 40 : 40 : 20. Surabaya dan Sidoarjo 40 persen, sedangkan pemprov 20 persen. Hal ini sebenarnya wajar mengingat dampak dari adanya terminal Purabaya ini sudah lintas kabupaten/kota, sehingga pemprov juga berhak untuk menanganinya. Namun, sebenarnya berdasarkan persentase pembagian 70:30 dengan Sidoarjo, Surabaya tidak sepenuhnya diuntungkan. Hal ini dikarenakan 70% yang diterima Surabaya itu 40% untuk PAD Surabaya, sedangkan 30% untuk operasional terminal (www.alisjahbana08.wordpress.com). Jadi, berbeda dengan Sidoarjo yang pure 40%. Dan sesungguhnya apabila dikalkulasi, antara biaya operasional yang dikeluarkan pemkot dengan pendapatan yang diterimanya tidak sebanding. Pemkot mengungkapkan bahwa rata-rata pendapatan per tahun terminal Purabaya sekitar Rp 6 miliar sementara kebutuhan operasional mencapai Rp 8 miliar.
Berdasarkan jenis pendapatannya, pendapatan yang diperoleh Pemkot Surabaya dari pengoperasian terminal Purabaya ini adalah pendapatan asli daerah (PAD). PAD merupakan pendapatan yang ditentukan dan dikumpulkan secara lokal. Terdapat tiga kaegori yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu pajak daerah, denda dan pungutan, serta penghasilan perusahaan daerah. Sedangkan untuk Pemkab Sidoarjo, pendapatan yang diterima dari terminal Purabaya ini merupakan jenis pendapatan transfer yang secara khusus masuk ke dalam kategori bagi hasil (revenue sharing) antar pemerintah daerah.
Namun sekali lagi, alangkah ironisnya jika polemik soal bagi hasil ini menjadi akhir kisah Purabaya. Terlebih untuk membangun kembali sebuah terminal besar tipe A seperti Purabaya, bukan perkara mudah. Hal ini disebabkan oleh adanya isu bahwa pemkot akan membangun terminal baru di daerah Pagesangan sebagai ganti terminal Purabaya. Terminal dalam sistem transportasi berperan sebagai simpul yang mengatur arus kendaraan dan manusia yang melintas di jalan raya. Oleh karena itu, untuk membangun sebuah terminal memerlukan pertimbangan yang matang dan komprehensif, mengingat peliknya masalah transportasi beserta kompleksitas persoalan yang terkandung di dalamnya. Belum lagi dana yang harus disiapkan untuk perencanaan penentuan lokasi beserta manajemen terminal yang diarahkan untuk menunjang kelancaran arus transportasi yang aman, nyaman, dan efisien, semua itu membutuhkan dana yang sangat besar. Jadi, lebih baik terminal Purabaya jangan dipindah melainkan hanya perlu dikembangkan dan direnovasi agar menjadi kawasan yang terpadu.
Pilar utama dari konsep pembangunan kawasan terpadu adalah adanya saling keinteraksian atas dasar asas kemanfaatan bersama (sumber daya, tata ruang) dan pengelolaan secara transparan serta partisipatif sekaligus menjamin kesinambungan untuk generasi mendatang. Berkaitan dengan masa depan terminal Purabaya, maka sudah sepantasnya menjadi fokus kajian bersama antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo agar permasalahan yang muncul ke permukaan publik tidak menjadi bias.
Akar permasalahan ini bukan pada sharing pemasukan kas daerah yang dirasakan tidak seimbang antara kedua daaerah tersebut, tetapi lebih pada kurang optimalnya hearing, course, dan komunikasi antar dua daerah dalam rangka pengembangan kawasan secara terpadu. Sehingga keberadaan terminal Purabaya semata-mata bukan untuk kepentingan Surabaya atau Sidoarjo, tetapi untuk kepentingan akses dan mobilitas bagi pengembangan kawasan dua daerah khususnya dan Jawa Timur pada umumnya.
Solusi cerdas yang bisa ditawarkan adalah dengan menguji kembali keberadaan terminal Purabaya dengan konsep pembangunan kawasan terpadu di atas. Pengujian ini untuk mendapatkan nilai atau angka relevansi yang harus dijadikan patokan untuk melihat masa depan terminal Purabaya ini. Dari angka relevansi yang akan diperoleh, nantinya akan menghasilkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi yang pertama adalah apabila terminal Purabaya tetap dipertahankan keberadaanya. Artinya, apapun alasannya dan siapapun mereka tidak boleh dan tidak bisa mengotak-atik lagi keberadaan terminal bus ini. Tidak Pemkot Surabaya maupun Pemkab Sidoarjo, termasuk juga Pemprov Jatim. Sehingga hanya tinggal menyisakan perbincangan dalam hal manajemen pengelolaan dan bagi hasil pemasukan. Berapapun persentase share pemasukan antar kedua daerah (perdebatan pasti alot), tetapi tetap berlandaskan pada frame berpikir yang sama yakni melanggengkan keberadaan terminal bus Purabaya.
Rekomendasi kedua adalah apabila lokasi terminal bus Purabaya tidak layak. Berarti, harus ada lokasi yang sesuai untuk tetap menjamin akses dan mobilitas keluar masuk Jawa Timur serta jantung kotanya Jawa Timur, yakni Surabaya. Dan hendaknya tetap diingat, lokasi di mana pun sebagai gantinya harus tetap dipilih berdasarkan pengujian konsep pembangunan kawasan terpadu. Pilihan ini bisa saja lebih dari satu lokasi, misalnya memperluas terminal bus Tambak Osowilangun, atau di daerah Gresik Timur, di daerah Benowo-Suarabaya, atau masih tetap di Krian-Sidoarjo, Sepanjang, dan lain-lain. Sehingga diperlukan tim/pokja yang melibatkan semua stakeholder di kawasan-kawasan tersebut.
Sejalan dengan pengajian dan pembahasan dilema tersebut di atas, maka kebijakan pendukung lainnya harus segera dipikirkan dan disiapkan. Hal ini dimaksudkan agar pembenahan sektor transportasi tidak parsial atau sepenggal-penggal. Pembenahan harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, sehingga ia bersifat antisipatif (terhadap kemungkinan kemacetan, perkembangan zaman dan teknologi, budaya masyarakat, jumlah kendaraan, jumlah penumpang, isu lingkungan, jaringan jalan, infrastruktur, tata ruang, dan sebagainya) dan saling mendukung dan mengisi (bukan sekadar kompetitif) antara beberapa pilihan moda transportasi massal (angkuta, bus, kereta) serta para pengguna jalan lainnya (kendaraan pribadi baik itu mobil, sepeda motor, kendaraan bukan bermotor, sepeda ataupun pejalan kaki).
Dengan demikian, apapun pilihan kebijakan yang akan diambil oleh pemkot Surabaya (mengapa Surabaya? karena dialah jantung kotanya Jawa Timur, sehingga mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal manajemen transportasi berkaitan dengan tingkat mobilitas dan aksesibilitas kota), bukanlah kebijakan yang gegabah dan emosional, sehingga menyampingkan pemikiran-pemikiran cerdas yang berkembang di beberapa stakeholder yang ada. Termasuk juga Pemda Sidoarjo (yang berjalan sendiri dalam menetapkan RTRW untuk kawasan terminal bus Purabaya) juga pemda lainnya di kawasan sekitar Surabaya yang kemungkinan menjadi partner nantinya dalam rangka manajemen transportasi menyeluruh dan berkelanjutan, hendaknya tidak mengedepankan ego kewilayahan.
KESIMPULAN
Di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, sengketa pembagian kewenangan tidak saja terjadi antara pusat dengan daerah saja, melainkan juga daerah dengan daerah, bisa antarprovinsi, antarkabupaten/kota, atau provinsi dengan kabupaten/kota. Hal ini biasanya terjadi apabila sesuatu yang diperebutkan kewenangannya terletak diperbatasan atau dampaknya (positif dan negatif) sudah lintas daerah.
Kondisi di atas dapat dicontohkan oleh kasus sengketa kewenangan antara kabupaten dengan kota yakni yang terjadi antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo terkait dengan pembagian keuntungan yang dihasilkan oleh terminal Purabaya (Bungurasih) yang notabene milik Surabaya tetapi lahannya berada di Sidoarjo. Selain itu, dari segi dampaknya, terminal ini adalah antar provinsi karena bus-bus yang ada di sana mengangkut penumpang beserta barangnya hingga lintas provinsi.
Sengketa ini terjadi karena Pemkab Sidoarjo menginginkan agar sharing provit-nya berubah dari 70:30 di mana 70-nya untuk Surabaya, menjadi 50:50. Hal ini dilakukan karena Pemkab Sidoarjo menilai bahwa dampak sosial yang timbul akibat adanya terminal Purabaya banyak merugikan Pemkab Sidoarjo. Dalam hal ini, Pemkot Surabaya pun tetap bersikeras mempertahankan angka pembagian hasil tersebut karena mereka merasa bahwa Pemkab Sidoarjo sebenarnya sudah untung dengan diberikannya 30% dari pendapatan yang diperoleh terminal Purabaya, karena pada awal pembangunan ataupun pengoperasiannya modal Sidoarjo tidak ada.
Namun, hendaknya polemik soal bagi hasil ini tidak menjadi akhir kisah Purabaya. Terlebih untuk membangun kembali sebuah terminal besar tipe A seperti Purabaya bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, komunikasi yang intensif perlu dilakukan oleh Pemkot Surabaya dan Pemkab Sidoarjo agar permasalahan ini dapat segera ditemukan titik temunya, bila perlu mengundang Pemprov Jatim sebagai mediatornya karena keberadaan terminal Purabaya semata-mata bukan untuk kepentingan Surabaya atau Sidoarjo, tetapi untuk kepentingan akses dan mobilitas bagi pengembangan kawasan dua daerah khususnya dan Jawa Timur pada umumnya.
Untuk lebih fair lagi, solusi cerdas yang bisa ditawarkan adalah dengan menguji kembali keberadaan terminal Purabaya dengan konsep pembangunan kawasan terpadu di atas. Pengujian ini untuk mendapatkan nilai atau angka relevansi yang harus dijadikan patokan untuk melihat masa depan terminal Purabaya ini. Dari angka relevansi yang akan diperoleh, nantinya akan menghasilkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi yang pertama adalah apabila terminal Purabaya tetap dipertahankan keberadaanya. Artinya, apapun alasannya dan siapapun mereka tidak boleh mengotak-atik lagi keberadaan terminal bus ini. Tidak Pemkot Surabaya maupun Pemkab Sidoarjo, termasuk juga Pemprov Jatim. Rekomendasi kedua adalah apabila lokasi terminal bus Purabaya tidak layak. Berarti, harus ada lokasi yang sesuai untuk tetap menjamin akses dan mobilitas keluar masuk Jawa Timur yang mana hal ini perlu dipikirkan oleh Pemkot Surabaya dan Pemkab Sidoarjo secara matang. Dan hendaknya yang perlu diperhatikan adalah lokasi di mana pun sebagai gantinya harus tetap dipilih berdasarkan pengujian konsep pembangunan kawasan terpadu.
REFERENSI
Muluk, M.R.K. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi Terminal
Alisjahbana. http://alisjahbana08.wordpress.com/akhir-terminal-purabaya/ diakses pada Senin, 12 April 2009.
Silaban, Charly. http://www.silaban.net/sidoarjo-ingin-transparansi-surabaya-oke/ diakses pada Senin, 12 April 2009.
Silaban, Charly. http://www.silaban.net/surabaya-tawarkan-swastanisasi-surabaya-oke/ diakses pada Senin, 12 April 2009.

Categories: